Senin, 11 Mei 2009

Tafsiran Masyarakat Indonesia terhadap novel

Pramoedya Ananta Toer, yang akrab disebut dengan Pram, kita kenal sebagai penulis bertangan dingin yang telah melahirkan lebih dari 50 karya. Selain karena daya cipta, ketajaman bahasa, dan keunggulan gayanya yang menjadikannya pengarang prosa Indonesia nomor satu, kisah hidupnya sebagai mantan anggota Lekra dan pernah menghabiskan separuh hidupnya dalam penjara membuat namanya semakin kontroversial dan melegenda. Dengan gayanya sendiri, Pram mencoba mengajak setiap orang untuk bertarung dalam gejolak gerakan nasional. Selain mendekam 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun pada masa orde lama, dan 14 tahun yang melelahkan di orde baru, karya-karyanya juga dicekal, dibakar dan diberangus oleh tangan kuasa pemerintah. Hal itu dapat terjadi karena karya-karya Pram berisi kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial dan kemanusiaan serta manipulasi politik yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa. Kritik dalam karya-karya Pram dapat diinterpretasikan sebagai kritik yang eksplisit maupun terselubung. Dua dari karya besarnya yang membuatnya menerima penghargaan dari dunia internasional adalah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dua novel ini adalah dua bagian pertama dari sekuel Tetralogi Buru.
Pada masa orde baru, segala novel atau karya yang berhubungan dengan Pramoedya hampir seratus persen disensor oleh pemerintah bahkan dicekal atau dilarang terbit. Kekhawatiran Presiden Soeharto pada waktu itu bersama antek-anteknya yang memanipulasi sejarah serta memperlakukan hak asasi manusia secara kejam untuk kepentingan dan kekuasaan golongan mengakibatkan karya-karya Pram dilarang oleh pemerintah. Selain itu, Pram sendiri harus menjalani hukuman penjara tanpa proses pengadilan. Hal ini tentu saja berkaitan mengingat Pramoedya adalah bekas anggota Lekra yang setiap saat dapat mengancam eksistensi kekuasaan rezim Soeharto dengan cara membeberkan fakta sejarah tahun 1965 yang masih kabur dan buram di dalam paradigma masyarakat Indonesia pada masa orde baru. Selain itu, kebusukan-kebusukan rezim Soeharto pada masa kekuasaannya selama 32 tahun membuat Presiden itu bertindak tanpa menggunakan kebijaksanaan sedikitpun. Ironisnya lagi, masyarakat Indonesia yang sudah terhegemoni oleh kewibawaan dan kebijaksanaan palsu Prseiden Soeharto pada masa orde baru, tidak mau membuka mata dan mendiskreditkan Pramoedya beserta karya-karyanya sebagai sesuatu yang kotor dan haram. Hal ini dapat terjadi karena pada masa orde baru, segala sesuatu yang berbau PKI atau Komunis (dalam hal ini sosok Pram beserta karya-karyanya) selalu ditekankan kepada masyarakat Indonesia oleh Soeharto beserta antek-anteknya sebagai sesuatu yang tidak baik dan harus dihindari. Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah orde baru dengan cara merekayasa isi dalam buku-buku sejarah yang dikonsumsi oleh institusi sekolah, memutar film yang berisi tentang kekejaman PKI pada tahun 1965 untuk meracuni pikiran generasi muda dan menanamkan kebencian yang mendalam, melakukan pembangunan besar-besaran di negeri Indonesia untuk membandingkan kemakmuran antara orde lama dan orde baru, dan merepresi serta mengekang sekuat mungkin segala bentuk kritik atau koar-koar yang sekiranya hendak melecehkan atau menjatuhkan wibawa dan kekuasaan Soeharto. Dalam hal ini, para seniman, sastrawan dan penyair yang hendak berekspresi lewat seni untuk mengkritisi tindak-tindak kecurangan pemerintah pada masa kekuasaan Soeharto, dihukum tanpa proses pengadilan, “dihilangkan ataupun dimasukkan ke dalam “kamar gelap”. Jadi pada masa Soeharto, masyarakat Indonesia sudah mempostulatkan terlebih dahulu para seniman revolusioner sebagai musuh Negara yang jahat tanpa pernah membaca karya dan suara hati mereka terlebih dahulu, contohnya adalah karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
Pada masa setelah orde baru tumbang oleh mahasiswa atau pada masa reformasi, demokrasi mulai berjalan dan hal itu pun akhirnya membuat karya-karya besar Pram yang dibungkam pada masa orde baru mencuat ke permukaan. Hal ini membuat masyarakat Indonesia mulai menyadari bahwa selama ini bangsa Indonesia tidak pernah menghargai seorang pengarang besar seperti Pramoedya. Berbagai konteks penafsiran mulai melanglang, terbang dan merdeka, khususnya terhadap novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
Pada masa setelah jatuhnya orde baru, masyarakat Indonesia mulai mengerti bahwa Pram menggunakan latar jawa kuno atau tradisional pada ke-19 untuk menganalogikan keadaan masyarakat Indonesia yang bobrok dan carut-marut pada masa orde baru. Pada novel Bumi Manusia, tokoh Protagonis bernama Minke diceritakan sebagai anak priyayi tinggi. Pada masa riwayat ini berlangsung, menjadi anggota keluarga semacam itu memberi hak istimewa kepada orang di tanah jajahan, asal ia bersedia menyesuaikan diri dengan tuntutan rangkap sistem itu : pertama, bertingkah laku sesuai dengan norma-norma kebudayaan priyayi dan kedua, tunduk pada kemauan penguasa kolonial yang memanfaatkan golongan priyayi Jawa untuk mempertahankan kekuasaan dan kewibawaannya. Atas dasar itu anak priyayi berhak masuk sekolah terbaik yang disediakan di wilayah koloni, dan ditanggung mendapat karier yang terhormat dalam jajaran pemerintahan. Hal ini tentu saja sangat berelevansi pada keadaan di masa orde baru dimana seseorang akan mendapatkan hak-hak istimewa jika orang tersebut bertindak dan ikut serta melakukan proses kecurangan termasuk melakukan tindak korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu, sikap tunduk dan patuh pada kecurangan-kecurangan pemerintah akan memberikan karier yang terhormat pada kursi pemerintahan di orde baru. Akan tetapi dalam novel Bumi Manusia digambarkan pula tokoh Minke yang tidak mengikuti jalan gampang itu. Lewat pengalaman sedih dan pahit ia mencari jalan alternatif, ia melawan, memprotes dan menjadi sadar akan tanggung jawabnya terhadap bangsa yang dirinya juga merupakan bagian dari padanya. Dan ia bersedia berkorban sesuai dengan tuntutan pilihannya. Hal ini mirip dengan pejuang-pejuang hak asasi manusia pada masa orde baru yang berani menanggung resiko apapun dari pemerintah. Adanya jurang pemisah yang dalam yang sesungguhnya bersifat rasial antara masyarakat orde baru ditunjukkan lewat hubungan Minke dengan Robert, kakak Annelies dan Robert Suurhof, seorang Indo. Kenyataan bahwa masyarakat kolonial pada novel Bumi Manusia tidak memberi kelonggaran apapun untuk prinsip-prinsip etis juga menganalogikan pemerintahan orde baru yang tidak memberi kelonggaran apapun pada masyarakat. Selain itu, ketakberdayaan para kaum buruh pada masa kapitalisme orde baru dianalogikan lewat ketakberdayaan petani Jawa yang mutlak menghadapi kekuasaan ‘Gula’ (industri gula yang dikuasai kaum Belanda) dalam sistem feodal-kolonial. Hal lain yang perlu dicermati pada citra masyarakat Indonesia dalam situasi orde baru adalah sikap terlalu tunduk, patuh, hormat dan takut kepada orang-orang yang mempunyai jabatan di kursi pemerintahan. Hal ini dianalogikan dalam Bumi Manusia sebagai Minke yang hidup pada masa Jawa tradisional dimana ia harus menghadap bupati dan sesuai dengan adat harus menyembahnya :

‘Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali buta huruf pula? God, God! Menghadap seorang Bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri’ (Bumi hlm. 116).

Dalam novel Anak Semua Bangsa, Pram juga melakukan kritik terhadap semua aspek dan lingkup yang menjadi alat legitimasi kekuasaan Negara pada masa orde baru, dalam hal ini adalah media persuratkabaran. Dalam Anak Semua Bangsa digambarkan bahwa Minke mendengar betapa Trunodongso terlibat dalam perjuangan mati-matian dengan pabrik gula, sebab ia menolak menyewakan petak tanah terakhir yang masih ada padanya untuk ditanami tebu. Minke tergoncang jiwanya kemudian berjanji kepada Trunodongso untuk membantunya dalam perjuangannya yang adil lewat publisitas. Namun, harian Soerabajaasch Nieuws van den Dag yang biasanya memuat tulisannya, sama sekali tidak suka cerita semacam ini, terutama Nijman sebagai kepala redaksinya. Dari pengalaman ini, Minke belajar dengan pahit getir bagaimana struktur dunia persuratkabaran di negeri jajahan. Harian itu memang milik dan penyambung lidah ‘gula’, jadi sama sekali tidak bebas untuk menulis dengan kritis tentang hal-hal yang tidak beres. Surat kabar hanya alat untuk mempertahankan modal saja. Dalam atmosfer dan situasi media massa dan persuratkabaran di Indonesia pada masa orde baru, tulisan-tulisan yang berisi kritik atau kecaman terhadap pemerintah atas keburukan-keburukan yang dilakukannya, tentu akan dilarang atau tidak diterima. Pram juga mengkritik tindakan-tindakan koersif yang dilakukan oleh angkatan bersenjata, tentara atau pihak militer di Indonesia pada masa orde baru yang digambarkan dalam Anak Semua Bangsa lewat penggambaran petani setempat yang ditindas dengan kekerasan.
Dewasa ini, berbagai macam perspektif dan sudut pandang mulai bermunculan dan berebut membuktikan suatu fakta sejarah atau kebenaran dengan bebas dan merdeka. Opini dan argumentasi-argumentasi ini dapat hadir lewat artikel, esai, puisi, cerpen atau novel. Tidak sedikit argumentasi yang hadir dalam bentuk implisit atau samar-samar, dan tentu saja terdapat berbagai konteks penafsiran untuk menelaah dan mencerna deskripsi dan argumentasi-argumentasi tersebut, apalagi jika kita harus menafsirkan suatu makna dalam novel yang substansinya cenderung lebih banyak. Kita tidak bisa menyalahkan seseorang yang tidak dapat berpikir kritis terhadap suatu hal atau wacana, karena mungkin ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, misalnya lingkungan keluarga yang tidak memberi kebebasan untuk berpikir dan mengakses suatu wacana yang dianggap tabu, mungkin juga karena kendala fasilitas yang terbatas dan lain-lain. Akan tetapi ada satu poin penting yang perlu dilakukan, dimana kita harus berani berpikir dari semua sisi dan sudut pandang yang terkadang disingkirkan atau dilarang untuk dijamah oleh konteks pemikiran atau wacana yang lebih dominan dan berkuasa.


Daftar Pustaka

Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya.
Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Anak semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara
Toer, Prmaoedya Ananta. 2006. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar