Rabu, 27 Mei 2009

Gigolo Dalam Film-Film Indonesia

Gigolo Dalam Film-Film Indonesia

1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui, gigolo adalah sebuah profesi yang sering dipandang miring atau mendapat citra negatif oleh masyarakat. Mengapa saya menyebut “gigolo” sebagai profesi? Karena pada dasarnya gigolo bersinonim dengan kata “pelacur” atau pekerja seks komersial yang mampu mendapatkan uang dengan aktivitasnya tersebut, tetapi mempunyai pengertian atau signifikansi lebih khusus yaitu, pelacur pria atau pekerja seks komersial yang berjenis kelamin atau mempunyai gender pria/ laki-laki.
Tentu saja semua pelacur baik wanita maupun pria selalu mendapat citra buruk atau mendapat posisi yang termarginalisasikan dalam struktur masyarakat. Hal itu terjadi karena pekerja-pekerja seks tersebut dirasa melanggar aturan norma, susila, dan etika yang ada di dalam masyarakat (walaupun sebenarnya tetap diperbolehkan bereksistensi serta mendapat perlindungan hukum yang sama dengan orang-orang lain asalkan aktivitas pekerjaannya berada di dalam lokalisasi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah).
Dalam kehidupannya, para pekerja seks komersial tersebut sering disisihkan dan didiskriminasikan. Mereka dianggap patologis oleh orang-orang di sekitarnya dan sering mendapat perlakuan yang tidak adil, padahal pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang sama dengan kita. Kebanyakan pekerja seks komersial merasa berat hati melakukan pekerjaan mereka. Mereka melakukan hal tersebut karena terdesak tuntutan ekonomi dan karena keterbatasan kemampuan/ keterampilan (walaupun ada yang melakukannya untuk mendapatkan banyak uang dengan sekejap dan merasa enjoy dengan pekerjaan tersebut).
Bagaimanapun juga, pekerja seks komersial adalah salah satu profesi dan sekaligus identitas yang cukup unik untuk diamati. Sisi kehidupan manusia dan fenomena masyarakat yang selalu hangat untuk dibicarakan dan menarik untuk dijadikan objek kajian penelitian. Wajar saja jika profesi tersebut sering menjadi inspirasi serta tema untuk dijadikan sebuah karya seni ataupun karya sastra, dalam hal ini Film. Berbagai macam motivasi memang melatarbelakangi diciptakannya film-film dengan tema tersebut. Tanpa bermaksud untuk menjadi pihak yang pro ataupun kontra dengan adanya pekerja seks komersial, saya mencoba untuk meneliti berbagai aspek dan hal-hal menarik dalam film yang mengangkat tema atau kisah tentang gigolo. Mengapa gigolo? Karena mungkin penelitian tentang wanita tuna susila (pekerja seks komersial wanita) dalam film-film Indonesia sudah cukup banyak karena memang jumlah film yang mengangkat tema tersebut sangat banyak. Kedua, saya juga menangkap gejala-gejala dan hal-hal menarik tentang gigolo yang tidak dimiliki oleh wanita tuna susila (tentu saja yang saya tangkap oleh perepresentasian film-film tersebut).
Oleh karena itu, saya menggunakan tiga sampel film Indonesia yang mengangkat tema tentang gigolo, yaitu : Laki-laki Dalam Pelukan (1977), Jakarta Undercover (2007), dan Quickie Express (2008).


2. Pembahasan
Saya menangkap bahwa kegiatan seksualitas yang dilakukan oleh gigolo bukan hanya karena desakan ekonomi dan keterbatasan keterampilan untuk memperoleh pekerjaan, tetapi juga karena faktor “rekreasi” atau kesenangan. Seperti dikatakan oleh Etty Indriati bahwa hati (perasaan) memainkan peran dalam seksualitas di kehidupan, oleh karena itu seks dapat dipilah sebagai tujuan reproduksi atau rekreasi ( Etty dalam Basis tahun ke-55 : 46).
Apakah sebagian WTS juga tidak menjalankan profesinya atas dasar kesenangan juga? Berdasarkan kuantitas atau persentase, jumlah laki-laki atau gigolo yang senang dan sengaja melakukan profesinya memang lebih banyak. Hal tersebut terjadi karena budaya patriarkhial di masyarakat kita mengurangi tanggungan dan beban moral para laki-laki tersebut yang ingin menjadi gigolo, sekaligus mendiskriminasikan wanita dan merepresi opini masyarakat bahwa wanita yang melakukan seks bebas lebih tidak layak dan tidak terhormat dibandingkan dengan laki-laki.
Seperti dikatakan Freud, bahwa Budaya Patriarki menuntut “pembatasan atas kehidupan seksual” secara ekstensif, karena kegiatan seksual harus diregulasi secara hati-hati jika setiap masyarakat memungkinkan hal itu ( Nelson, 2003 : 137).
Freud juga mengatakan bahwa dalam masyarakat yang didominasi kaum laki-laki, memiliki penis atau menjadi pria dianggap lebih bernilai (Boeree, 2006 : 66).
Melani Budianta juga mengatakan bahwa perempuan dianggap lemah, suka berdandan, dan lebih sesuai untuk menghabiskan waktunya di dalam rumah, sedangkan pria dianggap cocok untuk melakukan aktifitas fisik dan intelektual, adalah norma-norma yang dibentuk oleh kondisi budaya dan masyarakat tertentu ( Aminuddin,dkk, 2002 : 204).
Kesenangan-kesenangan laki-laki tersebut dalam menjalankan profesinya sebagai gigolo tampak dalam adegan-adegan film berikut :
1. Dalam film Quicky Express, pada latar sebuah café di malam hari, Tora Sudiro, Aming, dan Lukman sardi yang berprofesi sebagai gigolo tampak sangat gembira menceritakan pengalaman pertama kerja mereka melayani klien masing-masing. Mereka senang menjalani profesi tersebut karena pekerjaan tersebut sangat mudah, cepat, menyenangkan ( karena secara otomatis nafsu mereka sebagai laki-laki juga terpuaskan), dan dapat menghasilkan uang banyak.
2. Dalam film Laki-laki Dalam Pelukan tokoh Togi yang diperankan oleh Rudy Salam juga merasakan pengalaman yang serupa. Dia merasakan bahwa cinta sejati yang selama ini diyakininya ternyata malah membuatnya sakit hati, dan menjadi gigolo yang berganti-ganti pasangan ternyata malah mengasyikan. Hal itu tampak dalam adegan ketika Togi dan Vera (yang diperankan oleh Yatti Octavia) melakukan sharing atau curhat sebelum “bercinta”. Togi mengatakan bahwa dia merasakan kebahagiaan yang luar biasa setelah melakukan persetubuhan dengan banyak wanita, termasuk dengan artis ternama Eva Miranda dan seorang “tante girang.”
3. Dalam film Jakarta Undercover, para gay dan banci yang pada awalnya adalah pemuda desa yang udik dan hendak merantau dari desa untuk mencari pekerjaan di Jakarta malah membanting setir untuk menjadi gigolo dan banci. Mereka sangat gembira melakukan hal tersebut.


Ada beberapa kesamaan hal dari film-film tersebut, yaitu :
1. Tokoh-tokoh gigolo pada film-film tersebut pada awalnya bermotif mencari pekerjaan (yang halal tentunya).
Tokoh Togi pada film Laki-laki Dalam Pelukan adalah seorang perantau dari Sumatera yang berkerja serabutan dan pada akhirnya bekerja sebagai bellboy di sebuah hotel. Jojo (Tora Sudiro) dalam film Quicky Express juga kebingungan mencari pekerjaan dan akhirnya sebelum menjadi gigolo dia bekerja sebagai tukang tambal ban.
2. Sama-sama pada awalnya digambarkan sebagai seseorang yang udik, sederhana, polos, dan jujur.
Tokoh Togi pada awalnya merasa sakit hati ketika sehabis tidur bersama, kemudian dicampakkan begitu saja oleh artis Eva Miranda. Jojo (Tora Sudiro) juga sama sekali tidak curiga dan tidak berprasangka ketika seorang mucikari sedang membujuk dan mempengaruhinya untuk menjadi gigolo.
3. Sama-sama menjadi konsumsi tante-tante high class.
Togi adalah konsumsi tante-tante kaya mulai dari tokoh Eva Miranda, tokoh Vera (Yatti Octavia), dan tokoh Larasati (Rae Vita). Jojo (Tora Sudiro) adalah juga konsumsi dari tante-tante kaya yang diperankan oleh Ira Maya Sopha.
4. Sama-sama dideskripsikan bahwa gigolo juga punya cinta sejati.
Togi akhirnya jatuh cinta pada Larasati (Rae Vita), Jojo (Tora Sudiro) akhirnya jatuh cinta pada tokoh yang diperankan oleh Sandra Dewi.
Mengapa hal-hal di atas disertakan dalam film-film tersebut oleh sutradaranya? Apakah hanya kebetulan? Jawabannya adalah tidak kebetulan, karena para sutradara tersebut memang ingin menyelipkan pesan dan amanat dalam film-filmnya.
Tokoh-tokoh gigolo tersebut yang sebelumnya adalah pemuda desa yang hendak mencari pekerjaan akhirnya malah terkontaminasi oleh budaya kota yang hedonis. Jadi, menurut interpretasi saya, film-film tersebut hendak mengingatkan bahwa kita harus tetap berhati-hati dan membentengi diri terhadap budaya-budaya yang negatif.
Tokoh-tokoh tersebut pada awalnya adalah orang-orang yang polos dan jujur tetapi berubah watak dan jati dirinya karena disakiti oleh pengalaman hidup. Pengalaman-pengalaman hidup kadang memang menciptakan paradigma baru di dalam diri kita. Seperti di katakan oleh Ary Ginanjar Agustian bahwa pengalaman kehidupan dan lingkungan akan sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang, yang berakibat pada terciptanya sosok manusia hasil pembentukan lingkungan sosialnya (Agustian, 2005 : 24). Menrut interpretasi saya, film ini hendak mengingatkan bahwa kita jangan mudah terjatuh oleh pengalaman-pengalaman masa lalu. Justru kita malah harus semakin bertambah kuat setelah mengalami pengalaman-pengalaman pahit.
Dalam proses penelitian ini, saya malah menangkap hal lain, yaitu citra “tante-tante” girang yang direpresentasikan dalam film-film tersebut. Tante-tante girang dalam film-film tersebut digambarkan sebagai wanita-wanita kaya, bergaya perlente (pakaian dan perhiasannya mewah-mewah), dan merokok. Menurut interpretasi saya, film ini hendak menunjukkan bahwa dalam masyarakat abad ini memang terdapat wanita-wanita kaya dengan gaya-gaya hedonis semacam itu (walupun kita tidak bisa menggeneralisasikan bahwa semua wanita kaya pasti seperti itu).
Kesamaan terakhir yang saya tangkap dari film-film tersebut adalah bahwa seberapapun negatifnya profesi sebagai gigolo, gigolo-gigolo adalah juga sama seperti manusia-manusia lainnya bahwa mereka juga punya rasa cinta, cinta sejati.


Penutup
Sebagai penutup, saya Cuma bisa mengatakan bahwa gigolo juga bagian dari masyarakat. Bagian dari kita semua sebagai manusia. Oleh karena itu, tidak sepatutnya kita menyisihkan dan mendiskriminasikan mereka. Kita tidak bisa saling membenarkan atau menyalahkan suatu pihak karena pada hakikatnya kita semua adalah sama, yaitu manusia. Tidak ada satupun manusia yang mengerti tentang arti suatu kebenaran. Seperti kata pepatah “Tidak ada kebenaran selain kebenaran itu sendiri.”
Lagipula, bisa dikatakan bahwa para gigolo adalah manusia-manusia yang malah sangat memahami arti cinta. Mereka tidak perlu mempunyai pacar, bahkan mereka tidak perlu menikah. Seperti kata Erich Fromm, bahwa “ orang tidak dapat mempunyai cinta. Kalau dapat , maka cinta itu harus merupakan suatu benda, suatu substansi yang dapat dipunyai, dimiliki, dikuasai. Yang benar ialah tak ada apa yang dinamakan “cinta” itu. “Cinta” merupakan suatu abstraksi, mungkin seorang Dewi atau mahkluk asing, meski tak seorangpun melihat Dewi ini. Dalam kenyataan, hanya ada tindakan mencintai (Fromm, 198 : 43). Fromm juga mengatakan bahwa hubungan-hubungan badan tidak memperlihatkan sifat-sifat yang rakus atau serakah dalam keinginannya untuk menaklukkan atau ditaklukkan, tapi akan berbaur dengan kelembutan serta kemesraan (Fromm, 2004 : 96).

Daftar Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar. 2005. ESQ. Jakarta: Arga.
Aminuddin, dkk. 2002. Analisis Wacana : Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta : Kanal
Boeree, C. George. 2006. Personality Theories. Yogyakarta : Prismasophie
Indrianti, Etty. Via Sindhunata.2006. Basis. Seksualitas dan Masa depan Manusia.
Fromm, Erich. 1988. Memiliki dan Menjadi. Jakarta: LP3ES.
Nelson, Benjamin (ed). 2003. Freud. Manusia Paling Berpengaruh Abad ke-20. Surabaya: Ikon.

Senin, 11 Mei 2009

Keterpesonaan Dunia Timur Terhadap Barack Obama

Pendahuluan
Obama, presiden terpilih Amerika, adalah sosok dan topik yang sedang hangat dibicarakan dunia internasional saat ini baik di blok barat maupun blok timur. Bagaimana tidak, Amerika sendiri adalah Negara adikuasa yang memiliki pengaruh besar terhadap seluruh Negara di dunia. Tentu saja, pemilihan dan pergantian presidennya akan menjadi sorotan dan kajian menarik dari berbagai kalangan mengingat kebijakan dan keputusan seorang presiden tersebut dapat mempunyai dampak bukan hanya untuk Amerika sendiri tapi juga bagi seluruh dunia. Bagaimana seorang Obama yang akan dilantik pada 20 Januari 2009 nanti dapat memenangkan pemilu dan mengalahkan saingannya, John MacCain tentu memiliki latar belakang yang menarik.
Profil Obama pada saat masa kampanye memang hangat dibicarakan dan mengundang banyak perhatian. Mulai dari keberagaman darah dan ras yang mengalir dalam dirinya, aktivitas-aktivitas kemanusiaan dan sosial yang dilakukannya sebelum dia menjadi presiden, dan hal-hal lainnya yang berbeda dan terkesan positif dari kacamata kemanusiaan dibandingkan kandidat lain, bahkan presiden-presiden Amerika sebelumnya membuat Obama tampak ‘mempesona’. Masyarakat timur atau masyarakat Asiapun pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khusunya terpikat melihat fakta-fakta yang mempesona ini, berharap setelah terpilihnya Obama menjadi presiden akan membawa perubahan yang positif juga bagi dunia dan Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari antusiasme berbagai media massa dan surat kabar yang memberitakan tentang Obama mulai dari profilnya, perjalanan hidupnya, perkembangan kampanyenya, berapa besar peluangnya dan segala hal yang saya rasa terkesan positif dan agak subjektif. Saya berkeyakinan bahwa setelah Obama menjadi presiden, Indonesia, Irak, Palestina dan Negara-negara lainnya akan tetap ‘buruk-buruk saja’. Minimal walaupun tidak bertambah buruk, keadaan akan sama saja seperti sebelumnya.
Tulisan ini akan membahas bagaimana masyarakat timur yang selama ini mendiskreditkan Amerika, rezim kapitalismenya, serta presiden-presidennya merupakan wabah atau katastrofi bagi dunia internasional berubah pandangannya terhadap calon presiden yang satu ini, Barack Obama. Saya memakai referensi berupa beberapa artikel dari surat kabar, dan tentu saja dilihat dari perspektif orientalisme. Sebelum menginjak pembahasan tentang Obama, saya akan memberikan sedikit narasi bagaimana Amerika mendapat pandangan miring, bahkan mendapat peran antagonis atau oposisi dari masyarakat Timur.

Amerika Versus Timur
Sepertinya sudah menjadi wacana umum bagaimana pada masa postcolonial dan masa setelah Perang Dunia II Amerika berhasil menggunakan kelicikan-kelicikan dan hegemoninya untuk menggiring negara-negara peserta perang, negara-negara kolonialis, negara-negara jajahan dan negara berkembang serta sebagian besar negara di Eropa, Afrika dan Asia untuk masuk ke dalam supremasi dan korporatisme Amerika. Sebagai Negara industrialis terbesar, Amerika dengan fordismenya (sistem Bretton Woods) berhasil mengiming-imingi negara-negara yang hancur akibat perang, negara-negara jajahan dan Negara berkembang untuk melakukan rekonstruksi ekonomi lewat “politik pintu terbuka” dan lewat dalih kemanusiaan. Padahal tanpa disadari Negara-negara tersebut telah melakukan semacam kontrak dengan Amerika bahwa mereka dituntut harus membalas budi dengan memberikan sumber daya alam dan bahan mentah. Setelah melewati berbagai proses dan cara yang memang harus disesuaikan dengan konteks dan kondisi politik ekonomi dari tiap-tiap Negara yang berbeda, Amerika berhasil membuat Negara-negara di seluruh dunia menjadi ketergantungan terhadap pasar finansial Amerika. Akhirnya sampai sekarang, Amerika berhasil melakukan eksploitasi dan menancapkan taring-taring globalisasinya. Hal yang paling tidak bisa ditolerir dan menimbulkan kebencian khususnya oleh masyarakat timur, yaitu bahwa transplantasi ide-ide Amerika di negara berkembang lebih banyak melibatkan unsur-unsur kontrol dan kekuatan daripada persetujuan (Sugiono, 1999 : 88). Contoh-contoh kasus dan faktanya dapat kita kihat lewat ekspansi dan intervensi tentara Amerika ke Vietnam dan Irak.
Demi menggapai tujuan dan keinginan mereka, Amerika juga mengusung tema-tema dualisme agama atau isu-isu terorisme untuk melegitimasi tindakan-tindakan koersif mereka mengingat sebagian besar rakyat Amerika beragama Kristen dan lawan-lawan mereka di Timur beragama Islam. Seperti dikatakan Edward Said, sepanjang berkaitan dengan barat, Islam tidak saja menjadi pesaing yang hebat, tetapi juga akan menjadi ancaman bagi Kristen (Said, 2002 :5).
Begitu banyak tindakan-tindakan dari Amerika yang dinilai amoral dari kacamata kemanusiaan oleh banyak pihak di dunia hanya demi satu hal “kekuasaan modal”. Kecenderungan yang terlihat selama ini, apapun akan dilakukan oleh Amerika dan antek-anteknya demi akumulasi uang, mulai dari genosida/ pembantaian massal terhadap rakyatnya sendiri (tragedi 11 September di WTC), pengamanan jalur pipa minyak Kaspia yang melewati wilayah Afghanistan (Tabb, 2003 : XV), mendukung Israel dan kaum Zionis dalam kasus Palestina dan tindakan-tindakan lain dewasa ini yang tidak berlandaskan asas kemanusiaan. Hal-hal itulah yang membuat Amerika mendapat predikat negatif dari masyarakat timur.

Barack Obama : Presiden yang dianggap baik hati dan berbeda dengan presiden-presiden Amerika sebelumnya.
1. Latar Belakang Yang Menarik
Sejak masa kampanye, Obama memang lebih diunggulkan daripada saingannya, McCain. Posisi dan identitasnya yang unik membuat semua orang bersimpati. Selain itu, orang-orang seolah mendapat suasana dan warna baru. Hal itu ditunjukkan oleh potongan artikel berjudul Keluarga Obama, Mirip PBB Mini dari suatu surat kabar. Dalam artikel tersebut dituliskan bahwa Barack Hussein Obama Jr mendapat julukan GLOBAL PRESIDEN. Julukan ini muncul karena perjalanan hidup Obama yang penuh warna dan di tubuhnya mengalir berbagai darah atau ras (Darah Kenya dari ayahnya, Barack Hussein Obama. Dari ibunya mengalir darah Inggris, Irlandia dan Indian Cherooke). Artikel tersebut juga menambahkan bahwa kerabat Obama berasal dari berbagai benua.
Artikel lain juga menyebutkan bahwa Barack Obama sangat diuntungkan dengan latar belakangnya. Artikel tersebut menuliskan Barack Obama sangat diuntungkan dengan latar belakang sebagai seorang Afro- Amerika dan sejarah AS tidak pernah mencatat adanya Presiden yang berasal dari masyarakat kulit hitam.
Satu hal yang menarik khususnya bagi masyarakat Indonesia dan memang sepertinya hampir semua masyarakat Indonesia sudah mengetahuinya, bahwa Obama pernah menjalani masa kecil di Indonesia. Bisa dipastikan semua media massa dan surat kabar pasti mengekspose hal tersebut. Disebutkan oleh beberapa artikel bahwa Obama kecil pernah tinggal di dua rumah di Jakarta Pusat bersama ibu dan ayah tirinya, Lolo Soetoro. Obama juga pernah bersekolah di SDN Menteng di Jakarta. Di dalam artikel Keluarga Obama, Mirip PBB Mini tersebut, citra global Obama makin terasa karena nama Barack berbau Timur Tengah yang berarti barokah atau berkah. Artikel lain juga menyebutkan bahwa Obama pernah tinggal di Bulaksumur Jogja.
2. Visi dan Misi Yang Mulia
Visi dan Misi Obama yang tertuang dalam slogan kampanyenya ‘Change We Can Believe In’ memang menarik dan mulia. Salah satu artikel menyebutkan bahwa ia ingin menghapuskan pajak bagi lansia berpendapatan kurang dari 50.000 USD per tahun. Iapun mengurangi pajak bagi rakyat berpenghasilan kurang dari 250.000 USD per tahun. Obama juga ingin memulangkan pasukan AS dari Irak, berdialog dengan Iran dan Suriah, mengurangi arsenal nuklir AS dan menghentikan pendanaan sistem pertahanan rudal. Artikel lain juga menyebutkan bahwa Obama dan partai Demokrat akan menyelesaikan dua persoalan utama Amerika, yaitu perbaikan ekonomi dan HAM/ peran AS di dunia internasional. Artikel yang lainnya menyebutkan bahwa Obama berjanji menjadi Presiden bagi semua rakyat AS dari berbagai latar belakang, serta mengingatkan tantangan yang dihadapi AS, yakni perang di Irak dan Afghanistan, kerusakan bumi dan krisis finansial.
Tanggapan Kritis
Sebelumnya telah saya eksposisikan bagaimana Amerika menuai bibit kebencian di dalam dunia internasional dan melakukan aksi-aksi kejahatan, hingga oleh masyarakat timur setiap presiden Amerika digeneralisasikan sebagai ikon otoriter dan semena-mena. Namun persepsi orang timur berubah setelah Obama memenangkan pemilu dan terpilih menjadi presiden. Orang timur merasa Obama lebih menjunjung hak asasi dan nilai-nilai kemanusiaan baik bagi Amerika sendiri maupun bagi dunia internasional. Hal itu bisa dilihat dari janji-janjinya yang sudah saya eksplanasikan tadi. Selain itu, dalam tubuh Obama juga mengalir darah timur, sehingga orang timur merasa bahwa aspirasi dan kepentingannya nanti akan diperjuangkan oleh Obama setelah dirinya menjadi presiden.
Sebagai manusia intelektual dan kritis, kita seharusnya menjadi orang yang ‘berprasangka’, ‘curiga’, dan tidak mudah percaya terhadap wacana-wacana yang dipaparkan oleh media massa. Mengingat Obama sedang mengkampanyekan dirinya, bisa jadi hal itu adalah sesuatu yang disebut Spivak dengan ‘othering’, yaitu hal yang mencakup asumsi tentang otoritas, ‘suara’, dan kontrol atas ‘kata’, yakni perampasan dan penguasaan sarana-sarana interpretasi dan komunikasi (Ashcroft, Griffihts, Tiffin, 2003 : 138). Hal serupa juga dilakukan oleh capres-capres di Indonesia menjelang pemilu lewat iklan-iklannya yang selalu tampil di televisi, seperti Prabowo Subianto, Wiranto, dan lain-lain.
Seperti ditulis juga di salah satu artikel di surat kabar, setelah Obama terpilih menjadi presiden, Raul Castro mengatakan bahwa laporan yang disiarkan media AS hipokrit dan dilebih-lebihkan. Dr Bambang Cipto MA juga mengatakan dalam suatu surat kabar bahwa kemenangan Obama mungkin tidak terlalu mengejutkan, mengingat penampilannya selama masa kampanye memang sangat meyakinkan bagi siapapun dan dimanapun.
Satu pembahasan lagi mengenai setiap slogan, janji, visi, dan misi yang terlontar dari mulut Obama sendiri. Banyak hal-hal mulia menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang dijanjikan oleh Obama, khususnya mengenai masalah Irak. Obama mengatakan dia akan menarik tentara Amerika dari Irak. Namun untuk masalah Palestina? Obama hanya menunjukkan sikap bungkam dan apatis, sperti yang ditunjukkan dalam suatu surat kabar. Hal itu menunjukkan bahwa Obama belum begitu peduli terhadap kemanusiaan dan belum berani mengambil sikap tegas.
Dalam suatu surat kabar Obama juga menyatakan siap menciduk Osama Bin Laden. Perlu diketahui bahwa organisasi teroris Osama Bin Laden diciptakan oleh intelijen AS (Tabb, 2003 :xiii). Hal ini menunjukkan sesuatu, bahwa Amerika dan lagi-lagi Obama selalu mengkambinghitamkan sebagian pihak, padahal Amerika sendiri juga termasuk dalang atau pelaku kejahatan tersebut.
Obama juga menunjukkan sikap bahwa dirinya dan tentu saja Amerika akan terus menjadi rezim kapitalisme. Kapitalisme sendiri merupakan penyebab ketidakadilan dan kehancuran bagi banyak Negara di dunia. Dalam suatu surat kabar Obama mengatakan dia mengagumi Margaret Thatcher dan Ronald Reagan. Perlu diketahui bahwa Thatcherisme (ideologi yang diperkenalkan Margaret Thatcher) adalah suatu ideologi yang tidak menjamin terciptanya lapangan kerja, menghapus hak-hak hukum para buruh, mengekploitasi kebencian masyarakat terhadap bentuk ‘negara sejahtera’ (Simon, 2000 :80).
Penutup
…Rianti berkaos Obama, mengaku ikut berdoa. Naisyila Mirdad merasa bangga….
Sepenggal kalimat di atas adalah sedikit kutipan dari sebuah artikel tentang Obama dalam sebuah surat kabar, persis esok hari setelah Obama disiarkan menang dalam pengumuman hasil pemilu. Saya pribadi merasa hal itu agak janggal. Saya bukan bermaksud berpikir secara positivistik, saya tidak bermaksud mengkotak-kotakkan barat atau timur, saya berusaha untuk tidak rasis, dan saya berusaha untuk tidak menggeneralisasikan bahwa semua orang Amerika adalah jahat. Jika ada yang memang mengagumi Obama atau bahkan yakin bahwa Obama adalah manusia, presiden, serta pembela HAM yang baik ya silahkan. Akan tetapi, sikap simpati tersebut tidak perlu ditunjukkan sebegitu antusias, dramatis, dan menggebu-nggebu. Kita sebagai bangsa timur pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya punya kewajiban dan urusan dalam negeri atau bangsa kita masing-masing. Dan selama itu pula kita tidak pernah peduli dan ambil pusing, malah ada pemilihan presiden Amerika (yang saya pikir lebih mirip entertaintment macam American Idol) kita ikut terhegemoni dan terbawa hingar bingar media massa. Hikmah terbaik yang bisa diambil dari momen-momen seperti pemilu Amerika yaitu sikap nasionalisme para warga negaranya. Mereka benar-benar loyal kepada calon presiden yang mereka dukung, dan mereka mampu berargumentasi tentang kualitas kandidat yang mereka jagoan. Mereka mempelajari idola mereka. Kecenderungan di Indonesia sebaliknya, kita tidak pernah mau ambil pusing, hanya bisa menyalahkan, hanya bisa mengkritik, tetapi tidak mau ikut andil dan bersusah-susah dalam memperbaiki negeri ini. Sebagai penutup, saya akan memberikan opini saya yang memang subjektif. Tidak perlu mengelu-elukan Obama karena dia tidak punya urusan apa-apa dengan kita, setiap presiden pasti akan lebih mengutamakan bangsanya. Mungkin kalimat agak radikal dan ekstrem : mereka orang barat, kita orang timur.




Daftar Pustaka

Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Simon, Roger. 2000. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tabb, William K. 2003. Tabir Politik Globalisasi. Yogyakarta : Lafadl
Said, Edward W. 2002. Covering Islam : Bias Liputan Barat atas Dunia Islam. Yogyakarta :Ikon Teralitera
Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, Helen Tiffin. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa : Teori dan Praktik Sastra Poskolonial

Hubungan antara teori kognisi sosial Teun A. Van Dijk sebagai salah satu ilmu analisis wacana dengan hermeneutika

A.Pengertian Wacana
Untuk mengetahui hubungan antara Teori kognisi sosial Teun A.Van Dijk dengan Hermeneutika perlulah kita membahas pengertian wacana terlebih dahulu. Karena luasnya cakupan ilmu yang menggunakan istilah ‘wacana’ serta berbagai definisi tentangnya, masyarakat sering rancu untuk mempersepsikannya. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat, ada juga yang mengartikan sebagai isu atau pembicaraan. Namun kesemuanya sebenarnya menganalisis aspek yang sama, yaitu bahasa. Dalam analisis wacana kritis, analisis wacana dipakai untuk meneliti ideologi yang tersembunyi di dalam teks, bagaimana di dalam teks terdapat sebuah dominasi kekuasaan dan ketidakadilan dari pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak yang berkuasa tersebut menggunakan media wacana yang ada dalam masyarakat, khususnya teks berita untuk menghegemoni dan mempengaruhi kesadaran mental masyarakat. Istilah wacana kritis sendiri digunakan untuk membedakan pengertian dua pendekatan terhadap wacana yang lain, dimana menurut Eriyanto, wacana tidak hanya menganalisis kebenaran suatu teks dari segi struktur kalimatnya saja menurut kaidah sintaksis dan semantik, tidak saja meletakkan subjek atau penutur sebagai pihak yang paling menentukan makna secara netral tanpa ada pengaruh kuasa sosial di sekitarnya, tetapi juga menganalisis suatu pernyataan dalam teks lewat konteks sosialnya (Eriyanto 2001:224). Sekali lagi, aspek bahasa dalam media massa, teks dan segala bentuk wacana di masyarakat merupakan tempat bersemayamnya kuasa-kuasa yang dipakai oleh pihak-pihak tertentu untuk melegitimasi dan melanggengkan posisi mereka. Oleh karena itu, sama seperti hermeneutika, untuk meneliti sebuah teks perlulah penempatan sebuah teks pada konteks interaksi, sejarah, kekuasaan dan ideologi tertentu.

B.Teori Kognisi sosial Teun A. Van Dijk
Dari begitu banyak model analisis wacana yang diintoduksikan dan dikembangkan oleh beberapa ahli, model Van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini kemungkinan karena Van Dijk menformulasikan elemen-elemen wacana sehingga bisa dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh Van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial” (Eriyanto 2001:221). Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi,sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial. Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana. Di sini ada dua bagian : teks yang mikro yang merepresentasikan suatu topik permasalahan dalam berita, dan elemen besar berupa struktur sosial. Van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial. Kognisi sosial tersebut mempunyai dua arti. Di satu sisi ia menunjukkan bagaimana proses teks tersebut diproduksi oleh wartawan/ media, di sisi lain ia menggambarkan nilai-nilai masyarakat itu menyebar dan diserap oleh kognisi wartawan dan akhirnya digunakan untuk membuat teks berita (Eriyanto 2001:222).
Dalam buku Eriyanto, Van Dijk melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/ pikiran dan kesadaran membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/ bangunan : teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks yang pertama, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Ketiga dimensi ini merupakan bagian yang integral dan dilakukan secara bersama-sama dalam analisis Van Dijk (Eriyanto 2001:225).
1.Teks
Van Dijk membagi struktur teks ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro. Ini merupakan makna global/ umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka atau skema suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, parafrase dan lain-lain.
Meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan baru kemudian pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Kita bisa membuat pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa terhadap isu kenaikan BBM. Misalnya, Koran A mengatakan bahwa aksi ini terjadi karena kekecewaan mahasiswa dan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM semata tanpa ada motif atau tuntutan yang lain. Tema ini akan didukung dengan skematik tertentu. Misalnya dengan menyusun cerita yang mendukung gagasan tersebut. Media tersebut juga akan menutupi fakta tertentu dan hanya akan menjelaskan peristiwa itu semata pada masalah BBM. Pada tingkat yang lebih rendah, akan dijumpai pemakaian kata-kata yang menunjuk dan memperkuat pesan bahwa demonstrasi tersebut semata kasus kenaikan harga. Semua teks dipandang Van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai sebuah piramida. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat, dan proposisi yang dipakai. Pernyataan atau tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Pemakaian kata, kalimat, proposisi, retorika tertentu oleh media dipahami Van Dijk sebagai bagian dari strategi wartawan. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata dipandang sebagai cara berkomunikasi melainkan sebagai politik berkomunikasi, suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penentang. Struktur wacana adalah cara yang efektif untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang menyampaikan pesan. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu elemen dalam teks.
a). Tematik
Elemen tematik mempostulatkan pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Topik menggambarkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam penberitaannya. Topik menggambarkan tema umum dari suatu teks berita, topik ini akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik yang lain yang saling mendukung terbentuknya topik umum. Subtopik ini juga didukung oleh serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan subtopik, sehingga saling mendukung antara satu bagian dengan bagian yang lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang koheren dan utuh. Misalnya suatu teks berita mengenai Soeharto. Tema umum dari berita tersebut adalah hal-hal positif yang dimiliki oleh Soeharto dan hal-hal positif yang didapat oleh masyarakat Indonesia pada masa pemerintahannya. Kalau kita menggunakan kerangka Van Dijk, dalam teks akan didukung oleh beberapa subtopik, misalnya : harga barang-barang atau sembako yang murah, pembangunan dimana-mana, perekonomian maju. Masing-masing subtopik ini kalau diperhatikan mendukung, memperkuat bahkan membentuk topik utama berupa kemajuan pemerintahan Soeharto. Masing-masing subtema ini uga akan didukung oleh bagian yang lebih kecil. Misalnya dalam subtema akan diuraikan bahwa keluarga Cendana juga mendirikan yayasan amal. Dengan kata lain, semua fakta saling dukung membentuk satu pengertian umum yang koheren. Namun, peristiwa yang sama bisa jadi dipahami secara berbeda oleh wartawan yang berbeda, dan ini dapat diamati dari topik suatu pemberitaan.
b). Skematik
Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Meskipun mempunyai bentuk dan skema yang beragam, berita umumnya mempunyai dua kategori skema besar. Pertama, summary yang biasanya ditandai dengan dua elemen yakni judul dan lead. Elemen skema ini merupakan elemen yang dipandang paling penting. Judul umumnya menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Lead umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk dalam isi berita secara lengkap. Kedua, story yakni isi berita secara keseluruhan. Isi berita ini juga mempunyai dua subkategori. Yang pertama berupa situasi yakni proses atau jalannya peristiwa, sedang yang kedua komentar yang ditampilkan dalam teks.
Subkategori situasi yang menggambarkan kisah suatu peristiwa umumnya terdiri atas dua bagian. Yang pertama mengenai episode atau kisah utama dari peristiwa tersebut, dan yang kedua latar untuk mendukung episode yang disajikan kepada khalayak. Misalnya berita tentang konser Dewi Persik yang batal diselenggarakan karena mendapat protes dan kecaman keras dari masyarakat. Episode ini umumnya juga akan didukung oleh latar, misalnya, dengan mengatakan ini pembatalan konser Dewi Persik yang kesekian kali. Dengan demikian, latar umumnya dipakai untuk memberi konteks agar suatu peristiwa lebih jelas ketika disampaikan kepada khalayak.
Sedangkan subkategori komentar yang menggambarkan bagaimana pihak-pihak yang terlibat memberikan komentar atas suatu peristiwa terdiri atas dua bagian. Pertama, reaksi atau komentar verbal dari tokoh yang dikutip wartawan. Kedua, kesimpulan yang diambil oleh wartawan dari komentar beberapa tokoh.
Menurut Van Dijk, arti penting dari skematik adala strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan denga menyusun bagian-bagian dengan urutan-urutan tertentu. Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang disembunyikan. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol.
c). Latar
Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi arti yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan masyarakat hendak dibawa. Misalnya ada berita mengenai Bibit Waluyo, seorang kandidat atau calon Gubernur untuk propinsi Jawa Tengah. Bagi yang pro atau mendukung Bibit Waluyo, latar yang dipakai adalah prestasi-prestasi dan keberhasilan Bibit Waluyo. Sedangkan yang kontra atau tidak mendukung tentu akan sebaliknya. Latar dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana teks itu dibawa.

d). Detil
Elemen Detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Misalnya kekalahan tim Thomas Indonesia yang diekspos terlalu berlebihan tetapi dengan cara menyajikan berbagai informasi yang tidak perlu.


e). Maksud
Elemen wacana maksud, hampir sama dengan elemen detil. Namun elemen maksud lebih eksplisit dan jelas dalam menguraikan ekspresinya. Misalnya pendeskripsian secara jelas dan gamblang cara-cara kekerasan dan koersif yang dilakukan oleh polisi dalam upaya menertibkan pedagang kaki lima.

f). Koherensi
Koherensi adalah pertautan atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Koherensi merupakan elemen yang menggambarkan bagaimana peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh wartawan. Koherensi dibedakan menjadi dua, yaitu koherensi kondisional dan koherensi pembeda. Koherensi kondisional diantaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas yang dihubungkan dengan konjungsi. Jika koherensi kondisional berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa dihubungkan atau dijelaskan, maka koherensi pembeda berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan.

g). Pengingkaran
Elemen wacana pengingkaran adalah bentuk praktik wacana yang menggambarkan bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara implisit. Pengingkaran menunjukkan seolah wartawan menyetujui sesuatu, padahal ia tidak setuju dengan memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetjuannya tersebut. Misalnya pernyataan (saya memang orang Jogja tulen, tetapi uang Sultan dari perkawinan Putrinya itu memang perlu diselidiki KPK….)

h). Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir yang logis, yaitu prinsip kausalitas. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Kasus pemukulan mahasiswa oleh polisi dapat disusun ke dalam bentuk kalimat aktif, dapat juga pasif. Kalimat “Polisi memukul Mahasiswa” menempatkan polisi sebagai subjek dan memberi glorifikasi kepada kesalahan polisi. Sebaliknya, “kalimat“Mahasiswa dipukul Polisi”, polisi ditempatkan secara tersembunyi. Pada umumnya, pokok yang dipandang penting selaluditempatkan di awal kalimat.

i). Kata Ganti
Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa denga menciptakan suatu komunitas imajinatif. Dalam mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti “saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. Akan tetapi, ketika memakai kata ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator dengan khalayak sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan. Pemakaian kata ganti yang jamak seperti “kita” atau “kami” mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi serta mengurangi kritik dan oposisi.

j). Leksikon
Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata/ diksi atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Kata “ditangkap”, misalnya mempunyai kata lain : diamankan, disekap, ditahan dan lain-lain. Di antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih pilihan yang tersedia. Secara ideologis, piliha kata yang dipakai menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas.


k). Praanggapan
Elemen wacana pranggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Misalnya dalam suatu aksi pengrusakan sebuah diskotik oleh FPI. Seseorang yang setuju dengan hal itu akan memakai pranggapan berupa pernyataan “Perjuangan FPI ini membela Islam”.




l). Grafis

Gaya Hidup Punk Di Kalangan Mahasiswa

1 Pendahuluan
Punk selama ini dikenal oleh masyarakat umum dengan subjektivitas mereka sebagai sampah, sesuatu yang termajinalkan, sesuatu yang patologis, rambut mohawk dicat, pakaian berantakan ala berandalan, muka penuh dengan tindik dan piercing, serta segerombolan anak jalanan yang sarat dengan premanisme dan alkoholisme. Akan tetapi, punk juga ada yang mengartikan sebagai sebuah simbol pemberontakan dan perlawanan terhadap penindasan, kebobrokan, dan ketidakadilan yang dimanipulasi dan direkayasa oleh balutan selimut tatanan ketertiban. Bermain musik dengan suara parau dan lirik penuh pembangkangan dan diimplementasikan ketika mengamen di perempatan lampu merah. Begitu banyak indikasi dikotomi yang dihasilkan oleh anak-anak punk mengingat tampilan mereka yang urakan dan metodologi mereka yang terkesan kasar serta urakan untuk menyampaikan sesuatu membuat banyak orang memberikan opini yang beraneka ragam. Uniknya, basis dominasi para anak antikemapanan ini banyak diisi oleh anak yang sudah mapan dan sejahtera. Para mahasiswa sebagai kaum intelektual tidak sedikit yang tertarik dan mencoba mempelajari punk bukan hanya sebagai aliran musik tetapi juga sebagai kultur dan ideologi, malahan banyak pula yang akhirnya mencoba menampik dan meninggalkan kemapanan mereka untuk menjadi pelaku kehidupan punk.
Punk dirasa mampu menjadi wadah bagi aktivitas-aktivitas pembebasan mereka. Meskipun demikian, tidak mudah bagi khalayak umum untuk memahami dan menelaah kinerja kaum punk karena pada kenyataannya sistem perjuangan mereka dirasa terlalu arogan, melebihi batas bahkan salah arah dan pada beberapa kesaksian ternyata perilaku para kaum punk sudah meresahkan masyarakat dan masuk pada tahap tindak kejahatan. Ada kemungkinan selama ini punk oleh anak-anak muda hanya dijadikan proses pencarian jati diri, bahkan lebih parah lagi punk hanya dijadikan sebagai mode dan tren musik semata. Untuk memahami dan mengamati arus punk dan pengaruhnya secara lebih detail serta mendasar tentu perlu dilakukan penelusuran sejarah bagaimana punk masuk ke Indonesia hingga mampu menarik minat para anak muda sampai menjiwa dan mendarah daging menjadi suatu gaya hidup. Perlu pula diadakan komunikasi dan interaksi dengan pelaku punk, dalam hal ini para mahasiswa sebagai kaum intelektual yang konseptual, tentu saja dari sudut pandang individu dan kacamata sosial. Diharapkan, punk tetap menjadi senjata pembebasan dan perjuangan terhadap kecarut-marutan konstitusi negara yang kejam dan memperlakukan hak asasi manusia secara tidak adil. Setidak-tidaknya bagi kaum punk sendiri mereka memimpikan sebuah ruang yang tidak teralienasi untuk sekadar mencurahkan ekspresi kekecewaan terhadap keadaan sekitarnya yang memprihatinkan lewat cara-cara yang positif.

Mengapa Psikoanalisis dan Marxisme?
Dalam teori psikoanalisis, Freud mencoba mempostulatkan bahwa karakter manusia ditentukan oleh aspek-aspek biologis seperti represi, emosi dan kebutuhan-kebutuhan biologis yang lain, sedangkan Marx berpendapat bahwa manusia ditentukan oleh masyarakat tempat di mana dia hidup, khususnya ditentukan oleh sistem ekonomi yang berlaku di masyarakat itu. Sebenarnya kedua teori ini memiliki hubungan yang ambivalen bukan hubungan oposisi biner. Walaupun kedua teori ini tercipta oleh orang yang berbeda dan pada zaman yang berbeda pula, keduanya memiliki banyak keterkaitan dan persamaan. Keduanya menekankan paradigma yang absolut. Freud menekankan bahwa segala tindakan manusia didasarkan pada kebutuhan seksual semata, sedangkan Marx menekankan bahwa segala tindakan manusia didasarkan pada dorongan kebutuhan ekonomi semata. Jika Freud mempunyai landasan berupa logika, Marx mempunyai landasan berupa ideologi. Kedua landasan itu jika diterapkan melebihi batas dan dosis juga sama-sama memiliki efek samping, yaitu neurosis dan eksploitasi manusia. Mungkin perbedaan yang paling mencolok adalah Marx penuh keyakinan, sedangkan Freud penuh keragu-raguan. Terbukti pada akhir hayatnya, Freud menyadari bahwa ada keinginan manusia yang lain, yaitu keinginan untuk mati yang akhirnya melahirkan hal baru dalam teori Freudian insting kehidupan dan insting kematian.
Kedua teori ini dipakai bersamaan untuk meneliti pelaku punk dan kultur komunitasnya tentu memiliki alasan yang kuat. Manusia adalah mahkluk individu yang memiliki kepentingan-kepentingan emansipatoris dan hasrat-hasrat yang dapat menimbulkan tindakan-tindakan tertentu, mahkluk yang motivasional. Akan tetapi, perlu diingat bahwa manusia juga merupakan mahkluk sosial yang hidup dalam mayarakat yang penuh dengan kemajemukan tujuan dan aktualitas yang berbeda-beda. Dengan mengintegrasikan kedua teori ini maka Marxisme memiliki landasan psikologisnya dan psikoanalisis tetap menyadari kekuatan sosial di sekitarnya yang merepresi dan memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan karakter individu.
Dalam pemakaiannya, kedua teori ini akan meluas dan mengalami pelebaran sampai ke psikoanalisis Eric Fromm, hegemoni Gramsci atau filsafat Nietzsche. Bagaimanapun juga hal itu merupakan kontinuitas yang derivasional, di mana prinsip asli disesuaikan dengan kondisi zaman yang berubah-ubah.

2 Latar Belakang dan Hakikat Punk

2.1 Punk sebagai musik
Musik punk lahir di Inggris sekitar tahun 1975 yang merupakan persekutuan mustahil dari beraneka ragam tradisi musik seperti rock ‘n roll, northern soul dan reggae. Barulah ketika Sex Pistols tampil, punk mulai diakui. Kord-kord gitar pada musik punk biasanya merupakan kord-kord mayor dasar dan berpindah-pindah dengan cepat. Iramanya menghentak cepat dan bernuansa riang. Vokalnya diisi oleh suara yang serak, kadang melengking kadang berat dan sesekali disertai teriakan. Distorsi musik dan permainan gitar yang terkesan kasar menambah esensi dari musik punk. Lirik-lirik lagunya merupakan kritik terhadap pemerintah dan keadaan sekitar. Seiring berkembangnya zaman musik punk mulai termodifikasi dan melahirkan aliran-aliran lain seperti ska, punk rock dan melodic punk.

2.2 Punk sebagai gaya hidup
Dalam melegitimasi tampilan mereka, kaum punk memakai busana eklektik berupa forma “cut up” (sobekan), jaket kulit yang penuh dengan spike (semacam tiruan duri yang terbuat dari logam), celana pipa/celana pensil (celana panjang ketat), sepatu boot, berbagai aksesoris dan perhiasan dari kulit dan logam seperti gelang dan kalung, dan rambut berbagai model (biasanya mohawk). Gaya punk mengandung bermacam-macam pantulan terpiuh dari semua subkultur perang. Estetika punk ini dapat dibaca sebagai usaha untuk mengungkap kontradiksi yang tersirat dalam glam rock yang merupakan pesolek ekstrem dan mengalami elitisme tingkat dini. corak kelas pekerja, kelusuhan dan membuminya punk bertentangan langsung dengan keangkuhan, keanggunan, dan kecerewetan para superstar glam rock.

2.3 Punk sebagai prinsip dan idealisme
Punk tercipta dan terlahir di Inggris karena kerasnya kapitalisme industri pada waktu itu, maka wajar jika metode yang mereka pakai terkesan arogan dan berbau brutalisme. Masyarakat pun mendiskreditkan tindakan-tindakan kaum punk, bahkan sampai masa sekarang sebagai tindakan kriminal. Dalam teori Freudian, hal semacam ini disebut sindrom Stockholm, yaitu rasa simpati, kebanggaan dan merasa benar ketika telah melakukan tindakan yang dirasa orang lain sebagai sesuatu yang buruk. Memang tidak semuanya demikian, tetapi beberapa anak punk di Indonesia adalah atheis. Hal ini bisa terjadi karena sistem dan ideologi yang mereka terapkan adalah sistem anarkhi. Sistem ini meniadakan institusi yang lebih tinggi seperti negara atau Tuhan karena masyarakat humanistik berorientasi pada manusia dan kemanusiaannya. Dalam paradigma fundamental mereka, kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan baru akan terjadi ketika negara lenyap dan tiada, sosialisme dan komunisme-pun bukan jalan terbaik bagi mereka. Bagi mereka, manusia harus menggunakan skeptisme radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naïf jika akal dipercaya mampu memperoleh kebenaran (Tuhan). Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.
Jika dalam keyakinan mereka tidak ada institusi atau sesuatu yang lebih tinggi yang menaungi dan mengontrol mereka, akan sering timbul kesalahpahaman dan persinggungan aktualitas antara kaum punk dan masyarakat karena “kebenaran” yang mereka yakini sangat relatif dan fleksibel bahkan nihil dan tidak sesuai dengan kesepakatan moral suatu masyarakat. Yang menjadi permasalahan adalah ketika mereka meyakini “kebenaran” kaum punk adalah suatu “kebenaran” yang bermotif massal atau berprospek suatu gerakan dan disertai dengan tindakan konkret yang negatif maka itu bisa dianggap sebagai ancaman dan bahaya oleh masyarakat.
Pada faktanya, tidak ada perjanjian atau kesepakatan khusus dan bersifat paten terhadap norma-norma dan peraturan dalam punk. Perlu diingat bahwa, punk adalah suatu komunitas yang menentang rasialisme dan bisa menerima siapa saja untuk masuk ke dalam komunitas mereka. Maka orang-orang yang bebal dan tidak beradab sekalipun mampu mengaku sebagai anak punk dan melakukan tindakan-tindakan yang buruk.
Sampai sekarang terjadi ambiguitas dan kebimbangan melihat kasus bahwa visi, misi, dan eksistensi kaum punk kurang jelas. Ada yang mengatakan bahwa punk tidak lebih hanya sebagai refleksi, respon, dan protes kekecewaan mereka saja terhadap kemapanan dan ketidakadilan yang dituangkan dan disajikan dalam bentuk tampilan dan gaya/style. Namun, ada juga yang menekankan bahwa punk tidak hanya duduk bergerombol dan bermalas-malasan di depan sebuah emperan toko atau supermarket, punk tidak hanya minum mabuk-mabukan sampai tidak mampu berdiri dan mengangkat pantat mereka dari tanah, punk tidak hanya menunggu sesuatu, tetapi punk bergerak dan bertindak serta ikut andil dalam usaha meruntuhkan dan menghancurkan kebobrokan masyarakat.

3 Mahasiswa yang Menjalani Gaya Hidup Punk
Mahasiswa adalah kaum intelektual yang dengan inteligensi dan kebrilianannya diharapkan oleh masyarakat dapat bersikap kritis dan peka menanggapi berbagai situasi yang tidak berjalan dengan baik. Mahasiswa juga merupakan penyambung aspirasi rakyat yang menanggapi berbagai wacana yang terjadi dengan berdemonstrasi atau menyumbangkan hasil pikirannya untuk membangun negara. Pada momen dan atmosfer kemahasiswaan seperti ini, tidaklah mengherankan banyak mahasiswa yang menceburkan diri ke dalam dunia punk. Bahkan banyak juga yang mengaku sudah menjadi anak punk sebelum mereka memasuki bangku kuliah. Jika kita amati lebih dalam, terdapat banyak interpretasi dan tafsiran tentang maksud dan arti punk yang mereka kemukakan. Ironisnya banyak yang tidak saling berkaitan, bahkan bertentangan.
Prima (20) mahasiswi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya UGM angkatan 2005 mengaku sebagai anak punk. Dengan materialisme dialektisnya dia menjadi seorang atheis dan dengan prinsip menyayangi mahkluk hidupnya dia menjadi seorang vegetarian (dalam istilah punk disebut straightedge). Prima mempunyai band punk. Dia tidak hanya bermain musik saja, tetapi juga menulis buletin pribadi setiap bulannya (semacam buletin sosial politik). Dia aktif pula dalam kegiatan politik di komunitas berpaham anarkhi. Dari Prima diperoleh informasi bahwa banyak kegiatan sosial yang dilakukan oleh anak-anak punk. Misalnya, ketika dia pergi ke Jakarta menemui anak-anak punk Jakarta (mereka tergabung dalam band Marjinal) ternyata kegiatan rutin mereka adalah mengajar sekolah gratis yang didirikan oleh mereka sendiri. Setelah itu, dia pergi ke Bandung untuk mengikuti diskusi dengan anak-anak punk Bandung, semacam diskusi sosial budaya bulanan. Perlu diketahui bahwa Prima adalah anak tunggal dari keluarga berekonomi menengah ke atas yang tentu saja kebutuhan dan keinginannya selalu terpenuhi, namun dia menolak untuk ikut tercebur dan terseret arus globalisasi dan pasar bebas. Dia sering mengutuki dan menyumpahi barang-barang dan produk-produk kapitalis dalam dan luar negeri.
Banyak orang mendiskreditkan dan mengaitkan punk dengan pengangguran. Hal itu tidak sepenuhnya benar, Tatang (26) mahasiswa Fakultas Hukum UII Yogyakarta angkatan 2001 sembari menyelesaikan kuliahnya, dia bekerja sebagai provider internet di jogja. Dari Tatang diperoleh informasi bahwa banyak kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan oleh anak-anak punk di Blora, misalnya diadakan event musik bertajuk “Sedulur Bebas” untuk menyambut teman-teman tahanan yang baru keluar dari penjara. Ada juga aksi bersama memperingati hari lingkungan hidup yang dilakukan oleh anak-anak punk Blora dengan cara reboisasi.
Walaupun begitu terdapat kontradiksi antara apa yang dilakukan oleh anak punk satu dengan anak punk yang lain. Nat (21) misalnya dengan sifat hedonis dan sikap konsumerismenya hanya melakukan aktivitas-aktivitas seperti bermain band, minum-minum, foya-foya, bersenang-senang dan menghabiskan uang untuk membeli busana punk. Pak’e (24) anak punk Semarang dengan berdalih tidak ingin merepotkan orang tua dan orang rumah, dia turun dan tinggal di jalan namun tidak bekerja dan tidak melakukan produktivitas apapun yang berguna.
Banyak pula event-event musik punk yang menggembar-gemborkan persatuan dan persaudaraan namun masih dibumbui dengan perkelahian dan baku hantam. Pemalakan dan perampokan pun beberapa kali terjadi dan menurut beberapa kesaksian, disinyalir pelakunya adalah anak punk. Fromm mengemukakan ada tiga bentuk pencarian kebebasan manusia :
1.Otoritarianisme bentuk pencarian kebebasan dengan cara menindas dan menguasai orang lain. Ada dua hal yang ditawarkan di sini, yaitu dikuasai dan tunduk pada orang lain atau menjadi yang berkuasa dan menentukan struktur orang lain. Pada masa sekarang, bentuk otoritarianisme sangat tampak pada orang-orang atau pejabat yang bersembunyi di balik kekuasaan orang lain untuk ikut menguasai dan menindas orang.
2. Destruktif bentuk pencarian kebebasan untuk menanggapi kekejaman dunia terhadap si manusia itu dengan cara merusak dan menghancurkan. Bentuk ini berjalan dalam dua metode. Pertama, dengan cara meniadakan diri sendiri (dengan mengakhiri atau menghilangkan diri saya maka dunia tidak akan menyiksa saya) atau dengan cara kedua, yaitu dengan menghancurkan dunia (dengan menghilangkan dunia maka tidak ada yang dapat menyiksa saya). Contoh paling ekstrem dari bentuk ini adalah vandalisme, brutalisme dan bunuh diri
3. Konformitas otomaton bentuk pencarian kebebasan dengan cara berubah-ubah menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Orang yang memakai bentuk pelarian ini berpikir bahwa jika dia terlihat tidak berbeda dengan orang lain maka dia tidak akan sendirian atau disisihkan. Tentu saja hal ini terkesan sangat hipokrit karena orang seperti ini mirip bunglon dan tidak memiliki jatidiri. Bentuk ini tampak pada anak-anak muda yang selalu terbawa arus tren atau mode lewat televisi atau media massa yang lain.
Dalam kajian dunia punk, bentuk pencarian kebebasan nomor 1 adalah objek resistensi kaum punk yang paling utama dimana imperialisme atau penindasan dalam bentuk apapun termasuk institusi atau birokrasi ditentang habis-habisan. Tetapi tanpa disadari terkadang kaum punk sudah memasuki wilayah ruang lingkup bentuk pelarian nomor 2. Dalam beberapa kasus, jargon-jargon atau ritus-ritus perjuangan mereka sudah melanggar kesepakatan hukum dan merugikan masyarakat umun dan warga sipil, seperti keberingasan dan pengrusakan. Hal ini berjalan pada tahap transendental. Terkait dengan metode penghancuran internal atau pengrusakan diri sendiri (mashokisme sampai bunuh diri) sangat berelevansi dengan latar belakang terciptanya remaja punk dari sebuah keluarga. Ada dua bentuk keluarga, yaitu keluarga simbiotik dan keluarga acuh tak acuh. Keluarga simbiotik adalah keluarga dimana keberadaan satu anggota keluarga mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Contohnya adalah seorang anak yang “dikuasai” oleh ayahnya hingga seorang anak tumbuh seperti bayangan ayahnya, kreativitas dan kebebasan si anak tidak dibiarkan berkembang. Contoh lain adalah anak yang terlalu dimanja hingga secara hiperbolis terkesan “menguasai” orang tuanya. Sedangkan bentuk keluarga kedua tampak pada anak yang jarang mendapat perhatian dan kasih sayang orang tuanya karena orang tuanya terlalu sibuk bekerja. Seorang remaja dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak punk dari dua jenis keluarga seperti ini. Remaja yang kurang mendapat tempat untuk berekspresi dan memperoleh kemerdekaan kebebasannya sehingga mengambil jalan hidup punk untuk belajar memberontak ataupun remaja yang kurang mendapat tempat untuk berbagi cerita dan kasih sayang sehingga dia dengan bebas dan mudah mampu terseret oleh pergaulan manapun baik ataupun buruk.
Mengingat keluarga adalah sarana perpanjangan tangan dan mediasi masyarakat dalam memaksakan tuntutan-tuntutan institusional, maka kekuatan-kekuatan sensor sosial yang mengekang dan membentuk paksa karakter seorang remaja dirasa terlalu kuat. Jika seorang remaja tidak cukup kuat untuk melawannya maka pelampiasan dan jalan terakhir adalah dengan menghancurkan diri sendiri. Dalam beberapa kasus di dalam kehidupan punk, pengkonsumsian minuman keras atau obat-obatan terlarang, bahkan secara lebih empiris melukai diri sendiri (salah satu contohnya adalah dengan menyayat-nyayat lengan dengan pisau) disebabkan oleh beberapa faktor tersebut.
Tato dan piercing bukanlah jalan atau sarana untuk menyakiti diri sendiri. Putri (21) mahasiswi antropologi UGM yang mengaku anak punk menyatakan bahwa tato dan piercing lebih mengarah dan terfokus kepada estetika seni dan apresiasi diri.

D. Pendapat dan komentar mahasiswa umum terhadap punk
Sebagian besar mahasiswa pada saat sekarang ini sudah cukup mengetahui dan memahami tentang identitas dan prinsip kaum punk entah lewat buku, obrolan atau media massa. Mahasiswa umum sudah menyadari bahwa yang dinginkan kaum punk setidaknya adalah keselarasan dan kesamarataan (equality). Kaum punk tidak ingin dipandang sebelah mata tanpa ada underestimate ataupun judge sepihak. Mungkin mahasiswi-mahasiswi masih sedikit takut karena tampilan anak punk masih menyiratkan premanisme. Wian (20) mahasiswi Sastra inggris Universitas Dian Nuswantoro mengaku agak takut ketika beberapa anak punk masuk dan mengamen di kantin kampusnya. Beberapa teman Wian juga menyatakan hal yang serupa karena dandanan mereka seperti gembel yang tidak pernah mandi. Perlu diketahui bahwa dalam kesehariannya, anak punk bukan tidak pernah mandi melainkan jarang ganti baju mengingat busana dan aksesoris anak punk cukup rumit. Mahasiswa-mahasiswa umum juga walaupun tidak terlibat kegiatan-kegiatan sosial politik temannya yang kebetulan anak punk, mereka mendukung dan menghargai semua yang dilakukan teman punknya selama itu positif dan tidak merugikan orang lain.

E. Punk di Jogjakarta
Basis anak-anak punk cukup menjamur di kota jogja. Kita dapat melihatnya di berbagai tempat, salah satunya di lampu merah pertigaan Jl. Solo dan Jl. Affandi di depan Saphir square mall. Selain itu, sudah banyak pula event musik punk yang diadakan di kota jogja, beberapa di antaranya adalah Jogja hari ini, We are Friend dll. Biasanya event-event itu diadakan di beberapa café seperti Bunker café, Gerbong café dan Kedai Kebun. Prestasi dan produktivitas anak-anak punk dalam bidang jurnalistik dan wacana ditunjukkan dalam pembuatan majalah-majalah dan buletin. Beberapa di antaranya adalah :
1.Fightback (editor : aghus, xmartinx,nxd)
2.Better Day (editor : xnanux)
3.Desalinization (editor : adit)
4.Menolak Tunduk (editor : Bintang dan Prima)
5.Api (editor : inug)
6.Freaky Mind (editor : andi)
7.Entah (editor : tata)
Selain itu, banyak pula kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan oleh anak-anak punk jogja seperti Food not Bomb (pembagian makanan gratis kepada anak-anak jalanan), diskusi dan seminar serta pemutaran film yang diadakan di universitas-universitas.

F. Jenis musik dan lifestyle lain sebagai tambahan informasi
Sebenarnya ada beberapa musik atau gaya hidup underground yang lain yang mirip dengan punk dimana musik ditansformasikan sebagai alat pemberontakan dan kendaraan perjuangan, dan tentu saja saling berkaitan, beberapa di antaranya adalah :
1.reggae
reggae dibentuk dengan gaya unik, dengan bahasa patois jamaika dan menggunakan ritme yang lebih berat dan murung di sekitar alur bas yang lebih menonjol dan sederhana. Menggunakan kultur lisan Jamaika dan pemanfaatan yang khas injil (dalam teori Frudian hal ini disebut asketisisme/ cara hidup pendeta}. Gema Afrika terdengar pada perkusinya yang khas. Reggae menyerukan perlawanan terhadap perbudakan, penindasan dan apartheid. Pada masa sekarang reggae dan punk sering berkolaborasi, bekerjasama dan mengadakan kegiatan bersama karena merasa mempunyai satu visi yang sama yaitu kebebasan.
2. Heavy metal
Berangkat dari musik kencang, cepat, keras dan cadas heavy metal mengusung tema kegelapan sebagai kritik sosial yang lebih eksplisit. Kebusukan dan kemuraman moral dalam diri sendiri dikontemplasikan dan dituangkan dalam sound gitar yang berat dan suara vokal yang berat. Dalam proses dan perjalanannya hingga sekarang, musik heavy metal berkembang menjadi banyak cabang musik seperti trash metal dan hardcore. Hardcore sendiri adalah gabungan dan kombinasi dari musik punk dan heavy metal, namun wacananya lebih teoritis dan konseptual.
3. Skinhead
Skinhead sebenarnya bukan merupakan sebuah aliran ataupun jenis musik, kaum skinhead muncul sebagai faksi terpisah dari subkultur punk. Dengan keberingasan proletarian, puritan dan chauvinis, kaum skinhead mengenakan seragam yang berbeda dengan kaum punk. Tampang nakal tapi berpotongan rambut bersih, baju menempel ketat dan rapi. Budaya working class seperti skinhead sebenarnya juga berkaitan dengan gerakan politis. Working class adalah bagian terbesar dari roda yang menjalankan produksi kaum kapitalis. Working class adalah sebuah kelas yang digunakan, ditindas dan ditipu oleh kaum kapitalis, oleh karena itu, sama seperti punk sepertinya sangat absurd kalau skinhead yang dimulai dari budaya working class itu menjadi gerakan yang sama sekali apolitik. Gerakan politik tersebut kini dilanjutkan oleh beberapa gerakan yang mayoritas didominasi oleh kaum skinhead seperti organisasi ARA (Anti Racist Action) ataupun RASH (Red and Anarchist Skinhead) yang secara jelas merupakan sebuah gerakan politikal radikal yang menentang sistem kapitalisme.
Perlu diketahui bahwa layaknya punk, kaum reggae, metal dan skinhead di kota jogja cukup banyak. Mereka memiliki komunitas dan basecampnya masing-masing tetapi tidak saling bertentangan. Seperti juga punk, mayoritas penganut musik dan lifestyle tersebut didominasi oleh anak muda dan mahasiswa.

G. Penutup
Pada intinya, pergerakan punk sesungguhnya adalah sebuah gerakan revolusioner anti penindasan dan sebuah gerakan libertarian dari sekelompok orang yang tidak puas dengan kondisi masyarakat saat ini. Apapun yang dilakukan demi keadilan dan kesejahteraan orang banyak pasti akan tetap bertahan sampai kapanpun dan mendapat tempat walau Cuma sedikit saja. Hanya terlalu jauhnya lintas pemikiran dari tiap individu yang berbeda dalam suatu masyarakat yang membuat tiap orang tidak saling memahami bahkan memusuhi. Penyimpangan dalam suatu kultur atau ideologi adalah sebuah resiko. Maka dari itu perlu ditegaskan lagi prinsip equality atau keseragaman dalam punk. Seperti ditegaskan dalam teori Gramsci bahwa hegemoni merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Dengan cara ini maka etos perjuangan kaum punk menjadi jelas, terorganisir dan diharapkan tidak akan memaksakan suatu logosentrisme dalam keberbedaan masyarakat.

Rangkuman Teori Strukturasi Antony Giddens

1.Strukturasi adalah sebuah dualitas bukan dualisme
Giddens berangkat dari kritiknya terhadap dualisme, beberapa contoh dualisme adalah Subjektivisme dan objektivisme, voluntarisme dan determinisme. Subjektivisme dan voluntarisme adalah suatu tendensi sudut pandang yang memprioritaskan tindakan atau pengalaman individu di atas gejala keseluruhan, sedangkan objektivisme dan determinisme sebaliknya yang memprioritaskan gejala keseluruhan di atas tindakan atau pengalaman individu. Bagi Giddens, kita tidak boleh terpelanting ke dalam salah satunya, kita harus tetap memperhatikan keterkaitan antara pelaku dan struktur. Inilah salah satu poros pemikiran utama Giddens. Selain itu dalil penting kedua dari Giddens adalah sentralitas ruang dan waktu. Untuk memahami pentingnya Giddens menyoroti masalah keterkaitan antara pelaku dan struktur, akan dikemukakan sedikit tentang kritiknya terhadap ilmu-ilmu fungsionalisme dan strukturalisme.

2.Kritik Giddens terhadap fungsionalisme
Salah satu contoh ilmu fungsionalisme adalah Marxisme Louis Althusser. Bagi Giddens, fungsionalisme memiliki tiga kelemahan atau cacat utama. Yang pertama bahwa kita sebagai anggota masyarakat bukan orang-orang dungu atau robot yang bertindak atau berfungsi sesuai dengan peran atau naskah. Yang kedua, bukan sistem sosial yang kebutuhannya harus terpenuhi, sistem sosial tidak memiliki kebutuhan, yang memiliki kebutuhan adalah para pelaku. Yang ketiga, fungsionalisme sering menafikkan atau menisbikan aspek ruang dan waktu. Hal ini berimplikasi kepada satu contoh yaitu kritik Giddens terhadap Marxisme klasik. Dalam marxisme, keterkaitan antara bagian-bagian (the parts) dengan keseluruhan (the whole) karena kebutuhan sistem kapitalis. Menurut Giddens, proses strukturasi dalam bentuk atau rupa praktik sosial terjadi karena proses interaksi yang terulang oleh pelaku konkrit dalam dimensi ruang dan waktu.

3.Kritik Giddens terhadap strukturalisme dan post-strukturalisme
Dalam strukturalisme, proses pemaknaan atau pencarian hakikat makna dari suatu kata bersifat manasuka (arbitrer). Misalnya untuk mengetahui arti kata “presiden”, orang boleh langsung mengaitkannya atau menafsirkannya dengan makna “orang yang menjabat atau menduduki sebagai kepala pemerintahan”. Tetapi orang juga boleh mengartikannya sebagai berikut : presiden berarti adalah bukan “camat”, “lurah”, “bupati” dan lain-lain. Atau dalam hal ini, orang boleh menafsirkannya dengan cara mengaitkannya dengan hal-hal lain.
Dalam post-strukturalisme, strukturalisme lebih diorientasikan ke dalam ilmu-ilmu sosial seperti yang dilakukan oleh Levi-Strauss. Baginya, untuk mencari sesuatu harus menemukan kode-kode tersembunyi di balik hal tersebut. Misalnya, untuk mengetahui gejala-gejala sistem kapitalisme dalam masyarakat, kita tidak meneliti para pelakunya tetapi sirkulasi modal yang berakumulasi di belakang masyarakat.




4.Persamaan antara fungsionalisme dan strukturalisme
Dari eksplanasi dua bab terakhir di atas, dapat kita ketahui terdapat kesejajaran atau persamaan antara fungsionalisme dan strukturalisme yaitu mengebawahkan subjek atau pelaku.

5.Teori Strukturasi Antonio Giddens
Bagi Giddens, pelaku dan struktur tidak dapat dipisahkan. Namun keterkaitan itu merupakan hubungan dualitas (timbal balik) bukan hubungan dualisme (pertentangan). Bagi Giddens, struktur adalah aturan (rules) dan sumber daya (sources) yang dibentuk dari dan akhirnya menghasilkan praktik sosial. Struktur juga tidak bisa dilepaskan dari aspek ruang dan waktu. Jika menurut Marx, pembagian masyarakat adalah berdasarkan cara produksi ekonomi dari tiap kelas masyarakat, Bagi Giddens adalah bagaimana tiap lapisan masyarakat menciptakan dimensi ruang dan waktu. Salah satu contohnya adalah modernitas dan globalisasi.
Menurut Giddens, aturan yang dimaksud tidak bersifat mengekang malah memberdayakan (enable). Itulah kenapa disebut Giddens sebagai sumber daya dan mediasi. Salah satu contohnya adalah ketika kita sedang mengendarai motor, saat kita akan belok kiri kita akan menyalakan lampu sen kiri. Orang di belakang kita akan mengerti bahwa kita akan berbelok ke kiri, itulah yang dinamakan dengan struktur.
Menurut Giddens, ada tiga gugus struktur besar yang ada dalam masyarakat, yaitu :
a.Struktur signifikansi, yaitu sebuah struktur yang mendasarkan pada pemaknaan. Struktur signifikansi dapat terlihat dari beberapa ilustrasi sehari-hari. Saat kita memaknai bahwa lampu merah adalah berhenti dan kita menghentikan kendaraan kita. Atau saat kita menyebut pengajar kita dengan guru adalah sebuah contoh signifikansi.
b.Struktur dominasi, dapat berupa dominasi ekonomi maupun politik
c.Struktur legitimasi, terlihat dari kepatuhan kita kepada polisi. Jabatan dan label “polisi” tersebut melegitimasi kekuasaan mereka terhadap masyarakat.
Ada juga penelitian dari aspek psikologis mengenai kognisi pikiran dan kepatuhan masyarakat terhadap struktur tersebut. Menurut Giddens ada tiga jenis kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat, yaitu :
a.Motif tak sadar, yaitu saat kita melakukan sebuah kepatuhan tanpa adanya sebuah pergumulan atau dialektika. Misalnya saat pegawai negeri pada masa orde baru memakai pakaian KORPRI setiap hari.
b.Kesadaran Diskursif, kesadaran ini terlihat ketika seumpama pegawai negeri tersebut ditanya mengapa dia memakai baju KORPRI. Apabila dia menjawab dia memakai baju KORPRI karena dia tahu bahwa hal itu adalah suatu bentuk pendukungan terhadap korporasi orde baru dan kalau dia tidak menurut akan mendapat resiko yang besar, maka itu adalah sebuah kesadaran diskursif.
c.Kesadaran praktis adalah sebuah kesadaran yang memberikan rasa aman. Dia tahu peraturan bahwa setiap tanggal 17 harus memakai baju KORPRI. Dia diam saat memasuki tempat ibadah. Melalui pengetahuan praktis ini kita tahu bagaimana melangsungkan hidup sehari-hari tanpa harus mempertanyakan terus menerus apa yang terjadi dan apa yang akan dilakukan. Kita tidak harus bertanya mengapa menghidupkan kompor ketika kita akan memasak atau mengapa menghentikan motor saat lampu merah. Rutinitas hidup personal dan sosial terbentuk dari kinerja gugus kesadaran ini. Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami bagaimana praktik sosial kita lambat laun menjadi sebuah struktur. Reproduksi sosial tercipta lewat keterulangan praktik sosial yang jarang kita pertanyakan. Sama seperti rutinitas dan keterulangan praktik sosial dalam berlalu lintas yang menjadi struktur, praktik suap menyuap yang terus berulang di Indonesia akhirnya menjadi sebuah struktur KKN. Sehingga dalam menyelesaikan suatu masalah tidak bisa tidak masyarakat Indonesia selalu menggunakan cara-cara suap menyuap karena struktur tersebut sudah merasuk ke dalam tindakan dan praktik sosial kita.
Telah disinggung sebelumnya bahwa sentralitas ruang dan waktu atau dalam teori strukturasi disebut dengan perentangan ruang dan waktu merupakan elemen penting dalam pemikiran Giddens. Hubungan antara ruang-waktu dan tindakan merupakan sebuah hubungan ontologis. Hubungan keduanya bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan tersebut. Lugasnya, tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan. Menonton film di bioskop (ruang) jarang disebut sebagai bekerja. Ataupun berada dalam sebuah pabrik (ruang) di sebelah mesin pengepakkan dari Jam 8 pagi sampai jam 4 sore (waktu) tidak bisa disebut sebagai berlibur.
Menurut Giddens, kooordinasi waktu dan ruang merupakan faktor sentral bagi keberadaan masyarakat ketimbang melihat cara-cara produksinya seperti dipaparkan oleh Marx. Berikut akan diberikan beberapa contoh dan ilustrasi tentang perbedaan antara masyarakat tradisional yang masih menggunakan aksis kesatuan ruang dan waktu dengan masyarakat modern yang sudah melakukan pemisahan atau pencabutan waktu dari ruang.
a.Pada zaman dahuku, orang berjualan harus bertemu pembeli pada waktu dan tempat yang sama. Pada zaman modern, orang bisa melakukan transaksi jual beli dalam hitungan menit (lewat telepon, internet, dll). Hal ini merupakan pencabutan waktu dari ruang.
b.Dalam Negara modern, kapasitas Negara atau pemerintah untuk memata-matai warganya sudah semakin tinggi. Presiden dapat memonitor dan mengintai kegiatan diskusi mahasiswa di suatu tempat yang berbeda dalam hitungan menit lewat BAKIN. Melalui kamera pengintai apa yang diperbuat buruh di pabrik dapat diketahui oleh supervisor yang berada 100 meter jauhnya.
c.Pelarian modal saat krisis finansial tahun 1997 dilakukan dngan cara memindah seluruh isi rekening bank di Indonesia ke bank di Swiss, Singapura, Australia dan Nauru dalam tempo atau hitungan menit bahkan detik.
Memang benar bahwa pencabutan waktu dari ruang bergantung pada teknologi. hal ini oleh Giddens disebut dengan “industrialisme”. Namun industrialisme hanyalah salah satu dari beberapa dimensi refleksivitas-institusional modernitas. Ada empat penyangga atau refleksivitas-institusional dari sebuah modernitas, yaitu :
a.kapitalisme
b.Negara-bangsa
c.Militer
d.Industrialisme

Tafsiran Masyarakat Indonesia terhadap novel

Pramoedya Ananta Toer, yang akrab disebut dengan Pram, kita kenal sebagai penulis bertangan dingin yang telah melahirkan lebih dari 50 karya. Selain karena daya cipta, ketajaman bahasa, dan keunggulan gayanya yang menjadikannya pengarang prosa Indonesia nomor satu, kisah hidupnya sebagai mantan anggota Lekra dan pernah menghabiskan separuh hidupnya dalam penjara membuat namanya semakin kontroversial dan melegenda. Dengan gayanya sendiri, Pram mencoba mengajak setiap orang untuk bertarung dalam gejolak gerakan nasional. Selain mendekam 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun pada masa orde lama, dan 14 tahun yang melelahkan di orde baru, karya-karyanya juga dicekal, dibakar dan diberangus oleh tangan kuasa pemerintah. Hal itu dapat terjadi karena karya-karya Pram berisi kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial dan kemanusiaan serta manipulasi politik yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa. Kritik dalam karya-karya Pram dapat diinterpretasikan sebagai kritik yang eksplisit maupun terselubung. Dua dari karya besarnya yang membuatnya menerima penghargaan dari dunia internasional adalah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dua novel ini adalah dua bagian pertama dari sekuel Tetralogi Buru.
Pada masa orde baru, segala novel atau karya yang berhubungan dengan Pramoedya hampir seratus persen disensor oleh pemerintah bahkan dicekal atau dilarang terbit. Kekhawatiran Presiden Soeharto pada waktu itu bersama antek-anteknya yang memanipulasi sejarah serta memperlakukan hak asasi manusia secara kejam untuk kepentingan dan kekuasaan golongan mengakibatkan karya-karya Pram dilarang oleh pemerintah. Selain itu, Pram sendiri harus menjalani hukuman penjara tanpa proses pengadilan. Hal ini tentu saja berkaitan mengingat Pramoedya adalah bekas anggota Lekra yang setiap saat dapat mengancam eksistensi kekuasaan rezim Soeharto dengan cara membeberkan fakta sejarah tahun 1965 yang masih kabur dan buram di dalam paradigma masyarakat Indonesia pada masa orde baru. Selain itu, kebusukan-kebusukan rezim Soeharto pada masa kekuasaannya selama 32 tahun membuat Presiden itu bertindak tanpa menggunakan kebijaksanaan sedikitpun. Ironisnya lagi, masyarakat Indonesia yang sudah terhegemoni oleh kewibawaan dan kebijaksanaan palsu Prseiden Soeharto pada masa orde baru, tidak mau membuka mata dan mendiskreditkan Pramoedya beserta karya-karyanya sebagai sesuatu yang kotor dan haram. Hal ini dapat terjadi karena pada masa orde baru, segala sesuatu yang berbau PKI atau Komunis (dalam hal ini sosok Pram beserta karya-karyanya) selalu ditekankan kepada masyarakat Indonesia oleh Soeharto beserta antek-anteknya sebagai sesuatu yang tidak baik dan harus dihindari. Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah orde baru dengan cara merekayasa isi dalam buku-buku sejarah yang dikonsumsi oleh institusi sekolah, memutar film yang berisi tentang kekejaman PKI pada tahun 1965 untuk meracuni pikiran generasi muda dan menanamkan kebencian yang mendalam, melakukan pembangunan besar-besaran di negeri Indonesia untuk membandingkan kemakmuran antara orde lama dan orde baru, dan merepresi serta mengekang sekuat mungkin segala bentuk kritik atau koar-koar yang sekiranya hendak melecehkan atau menjatuhkan wibawa dan kekuasaan Soeharto. Dalam hal ini, para seniman, sastrawan dan penyair yang hendak berekspresi lewat seni untuk mengkritisi tindak-tindak kecurangan pemerintah pada masa kekuasaan Soeharto, dihukum tanpa proses pengadilan, “dihilangkan ataupun dimasukkan ke dalam “kamar gelap”. Jadi pada masa Soeharto, masyarakat Indonesia sudah mempostulatkan terlebih dahulu para seniman revolusioner sebagai musuh Negara yang jahat tanpa pernah membaca karya dan suara hati mereka terlebih dahulu, contohnya adalah karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
Pada masa setelah orde baru tumbang oleh mahasiswa atau pada masa reformasi, demokrasi mulai berjalan dan hal itu pun akhirnya membuat karya-karya besar Pram yang dibungkam pada masa orde baru mencuat ke permukaan. Hal ini membuat masyarakat Indonesia mulai menyadari bahwa selama ini bangsa Indonesia tidak pernah menghargai seorang pengarang besar seperti Pramoedya. Berbagai konteks penafsiran mulai melanglang, terbang dan merdeka, khususnya terhadap novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
Pada masa setelah jatuhnya orde baru, masyarakat Indonesia mulai mengerti bahwa Pram menggunakan latar jawa kuno atau tradisional pada ke-19 untuk menganalogikan keadaan masyarakat Indonesia yang bobrok dan carut-marut pada masa orde baru. Pada novel Bumi Manusia, tokoh Protagonis bernama Minke diceritakan sebagai anak priyayi tinggi. Pada masa riwayat ini berlangsung, menjadi anggota keluarga semacam itu memberi hak istimewa kepada orang di tanah jajahan, asal ia bersedia menyesuaikan diri dengan tuntutan rangkap sistem itu : pertama, bertingkah laku sesuai dengan norma-norma kebudayaan priyayi dan kedua, tunduk pada kemauan penguasa kolonial yang memanfaatkan golongan priyayi Jawa untuk mempertahankan kekuasaan dan kewibawaannya. Atas dasar itu anak priyayi berhak masuk sekolah terbaik yang disediakan di wilayah koloni, dan ditanggung mendapat karier yang terhormat dalam jajaran pemerintahan. Hal ini tentu saja sangat berelevansi pada keadaan di masa orde baru dimana seseorang akan mendapatkan hak-hak istimewa jika orang tersebut bertindak dan ikut serta melakukan proses kecurangan termasuk melakukan tindak korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu, sikap tunduk dan patuh pada kecurangan-kecurangan pemerintah akan memberikan karier yang terhormat pada kursi pemerintahan di orde baru. Akan tetapi dalam novel Bumi Manusia digambarkan pula tokoh Minke yang tidak mengikuti jalan gampang itu. Lewat pengalaman sedih dan pahit ia mencari jalan alternatif, ia melawan, memprotes dan menjadi sadar akan tanggung jawabnya terhadap bangsa yang dirinya juga merupakan bagian dari padanya. Dan ia bersedia berkorban sesuai dengan tuntutan pilihannya. Hal ini mirip dengan pejuang-pejuang hak asasi manusia pada masa orde baru yang berani menanggung resiko apapun dari pemerintah. Adanya jurang pemisah yang dalam yang sesungguhnya bersifat rasial antara masyarakat orde baru ditunjukkan lewat hubungan Minke dengan Robert, kakak Annelies dan Robert Suurhof, seorang Indo. Kenyataan bahwa masyarakat kolonial pada novel Bumi Manusia tidak memberi kelonggaran apapun untuk prinsip-prinsip etis juga menganalogikan pemerintahan orde baru yang tidak memberi kelonggaran apapun pada masyarakat. Selain itu, ketakberdayaan para kaum buruh pada masa kapitalisme orde baru dianalogikan lewat ketakberdayaan petani Jawa yang mutlak menghadapi kekuasaan ‘Gula’ (industri gula yang dikuasai kaum Belanda) dalam sistem feodal-kolonial. Hal lain yang perlu dicermati pada citra masyarakat Indonesia dalam situasi orde baru adalah sikap terlalu tunduk, patuh, hormat dan takut kepada orang-orang yang mempunyai jabatan di kursi pemerintahan. Hal ini dianalogikan dalam Bumi Manusia sebagai Minke yang hidup pada masa Jawa tradisional dimana ia harus menghadap bupati dan sesuai dengan adat harus menyembahnya :

‘Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali buta huruf pula? God, God! Menghadap seorang Bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri’ (Bumi hlm. 116).

Dalam novel Anak Semua Bangsa, Pram juga melakukan kritik terhadap semua aspek dan lingkup yang menjadi alat legitimasi kekuasaan Negara pada masa orde baru, dalam hal ini adalah media persuratkabaran. Dalam Anak Semua Bangsa digambarkan bahwa Minke mendengar betapa Trunodongso terlibat dalam perjuangan mati-matian dengan pabrik gula, sebab ia menolak menyewakan petak tanah terakhir yang masih ada padanya untuk ditanami tebu. Minke tergoncang jiwanya kemudian berjanji kepada Trunodongso untuk membantunya dalam perjuangannya yang adil lewat publisitas. Namun, harian Soerabajaasch Nieuws van den Dag yang biasanya memuat tulisannya, sama sekali tidak suka cerita semacam ini, terutama Nijman sebagai kepala redaksinya. Dari pengalaman ini, Minke belajar dengan pahit getir bagaimana struktur dunia persuratkabaran di negeri jajahan. Harian itu memang milik dan penyambung lidah ‘gula’, jadi sama sekali tidak bebas untuk menulis dengan kritis tentang hal-hal yang tidak beres. Surat kabar hanya alat untuk mempertahankan modal saja. Dalam atmosfer dan situasi media massa dan persuratkabaran di Indonesia pada masa orde baru, tulisan-tulisan yang berisi kritik atau kecaman terhadap pemerintah atas keburukan-keburukan yang dilakukannya, tentu akan dilarang atau tidak diterima. Pram juga mengkritik tindakan-tindakan koersif yang dilakukan oleh angkatan bersenjata, tentara atau pihak militer di Indonesia pada masa orde baru yang digambarkan dalam Anak Semua Bangsa lewat penggambaran petani setempat yang ditindas dengan kekerasan.
Dewasa ini, berbagai macam perspektif dan sudut pandang mulai bermunculan dan berebut membuktikan suatu fakta sejarah atau kebenaran dengan bebas dan merdeka. Opini dan argumentasi-argumentasi ini dapat hadir lewat artikel, esai, puisi, cerpen atau novel. Tidak sedikit argumentasi yang hadir dalam bentuk implisit atau samar-samar, dan tentu saja terdapat berbagai konteks penafsiran untuk menelaah dan mencerna deskripsi dan argumentasi-argumentasi tersebut, apalagi jika kita harus menafsirkan suatu makna dalam novel yang substansinya cenderung lebih banyak. Kita tidak bisa menyalahkan seseorang yang tidak dapat berpikir kritis terhadap suatu hal atau wacana, karena mungkin ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, misalnya lingkungan keluarga yang tidak memberi kebebasan untuk berpikir dan mengakses suatu wacana yang dianggap tabu, mungkin juga karena kendala fasilitas yang terbatas dan lain-lain. Akan tetapi ada satu poin penting yang perlu dilakukan, dimana kita harus berani berpikir dari semua sisi dan sudut pandang yang terkadang disingkirkan atau dilarang untuk dijamah oleh konteks pemikiran atau wacana yang lebih dominan dan berkuasa.


Daftar Pustaka

Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya.
Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Anak semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara
Toer, Prmaoedya Ananta. 2006. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara

Memahami perbedaan antara bentuk kata sich, ya dan imbuhan –kah

Bahasa pada prinsipnya adalah perangkat komunikasi yang didasarkan pada konvensi sosial. Dalam keseharian kita, bahasa tidak dapat dilepaskan dari sistem pemaknaan tertentu yang dipakai untuk menunjuk suatu realitas. Sistem pemaknaan inilah yang disebut dengan “tanda”. Menurut Saussure, langue adalah khazanah tanda. Ia mengandung perbendaharaan tanda yang masing-masing arbitrer karena setiap tanda memiliki referensi terhadap suatu objek tanpa kita ketahui latar belakangnya dan konvensional karena tanda-tanda itu dilembagakan dalam konvensi sosial dan dibakukan ke dalam sistem langue. Menurut Freud, seluruh perilaku manusia termasuk berbahasa didorong oleh nafsu atau nalurinya (id). Naluri tersebut mencakup berbagai tujuan, kepentingan dan motivasi. Dalam berbahasa manusia (ego) menipu diri tentang dirinya sendiri karena adanya mekanisme-mekanisme tak sadar dalam dirinya yang berupa tekanan-tekanan psikis. Konflik-konflik psikis ini merupakan akibat represi terhadap naluri-naluri yang penyalurannya dilarang di dalam masyarakat (superego).
Dalam implementasinya, masyarakat sebagai institusi formal membentuk paksa mekanisme berbahasa sesorang menjadi lebih patuh, sopan dan terkontrol di hadapan masyarakat. Dalam tataran gramatikal, frase siapa sich, siapa ya dan kata siapakah memiliki fungsi yang hampir sama, namun di dalam masyarakat tiga bentuk tersebut tidak dapat diterapkan ke dalam situasi yang sama. Frase siapa sich yang berfungsi untuk menanyakan seseorang tentu kurang tepat jika dipakai untuk menanyakan presiden dalam acara kenegaraan. Begitu pula dengan kata “siapakah” tentu akan terasa aneh jika digunakan dalam aktivitas berbahasa dalam pertemanan sehari-hari. Hal ini terkait dengan konteks. Dalam ilmu pragmatik, terdapat hal yang disebut dengan validitas tindak tutur (felicity conditions) dimana orang yang mengutarakan tuturan harus sesuai. Selain harus terdapat keseimbangan antara penutur dan lawan tutur (participants), perlu juga penyesuaian penempatan ujaran atau tuturan dalam speech situation yang tepat. Hal ini perlu dilakukan supaya inferensi atau jembatan kesimpulan dapat sampai kepada orientasi tujuannya (goal oriented activities). Frase siapa sich dan siapa ya merupakan frase yang sama-sama dipakai dalam kalimat interogatif yang bersifat informal, namun walaupun hampir mirip arti dan fungsinya keduanya memiliki perbedaan. Frase siapa sich sering hadir dalam tindak tutur ekspresif karena sebenarnya si penanya sudah mengenal atau setidaknya sudah pernah bertemu dengan orang yang dimaksud, sedangkan frase siapa ya seringkali hadir dalam ujaran penanya yang sama sekali tidak kenal dengan orang yang dimaksud. Keragaman berbahasa antara orang yang satu dengan yang lain disebut dengan parole atau di dalam ilmu pragmatik disebut dengan idiolek.
Munculnya keragaman bahasa dan patron-patron yang berlaku sebagai sensor sosial yang mengatur waktu dan tempat pemakaian berbagai jenis bahasa disebabkan karena berbagai faktor. Perbedaan latar belakang, lingkungan dan kondisi sosial tentu menimbulkan pula perbedaan dalam berbahasa dan dalam menyampaikan informasi atau tujuan. Oleh karena itu, pemerintah dalam usahanya mencanangkan program berbahasa Indonesia kepada masyarakat menggunakan keluarga atau orang tua sebagai mediasi atau perpanjangan tangan kekuasaan eksternal Negara ke dalam dunia internal individu. Bahasa Indonesia sebagai wacana dominan ini dapat menyebabkan seorang individu dianggap berada dalam keadaan patologis karena ia menyimpang dari model-model komunikasi dan interaksi dalam konteks masyarakatnya. Konflik inilah yang dapat menimbulkan neurosis individual maupun kolektif. Menurut Erich Fromm, seorang psikolog Amerika yang mencoba mengintegrasikan teori psikoanalisis Freud dan Marxisme, salah satu bentuk penyelesaian konflik yang sering dipakai oleh orang-orang adalah bentuk “konfomitas otomaton” dimana seseorang menjadi luruh dan bermimikri menjadi seperti masyarakat yang ada di sekitarnya karena sudah terhegemoni oleh wacana yang dominan. Dalam konteks kebahasaan contohnya adalah ketika seorang pemuda desa mencoba berbahasa dengan memakai bahasa anak-anak kota yang terkesan “gaul” supaya dirinya mampu diterima, tidak disisihkan dan tidak dipandang sebelah mata. Pemakaian frase siapa sich dan siapa ya merupakan beberapa contoh bentuk konformitas otomaton dari frase-frase sebelumnya, mungkin frase sopo to? sopo je? dan lain-lain ketimbang memilih mengunakan kata “siapakah”.
Negara dalam aktualitasnya berada dalam tataran hierarkhis dimana dimensi ruang dan waktu, antara formalitas dan non-formal, tinggi dan rendah harus tetap diperlihatkan oleh garis demarkasi yang jelas untuk menjaga kewibawaan, kehormatan dan melegitimasi kekuasaan Negara sebagai institusi formal. Dalam hal ini bahasa digunakan sebagai alat pembeda antara situasi formal dan non-formal, antara masyarakat sipil dan masyarakat politik. Jadi ketika id bekerja dan bermekanisme di alam bawah sadar (unconsciousness) hasilnya belum tentu sama dan serupa di dalam ujaran alam sadar (conciousness) karena aktualitas kehidupan selalu terikat dengan konteks yang penuh dengan sensor-sensor sosial. Bahasa atau prokem kehidupan kita sehari-hari yang terkesan nyantai tidak bisa diucapkan ketika kita berada dalam suasana yang resmi. Hal ini juga dapat dengan jelas membedakan hakikat antara parole yang sering sejalan dengan kondisi alam bawah sadar kita dengan langue sebagai salah satu variasi bahasa yang bereksistensi dalam jargon-jargon kebahasaan formal.
Berdasarkan sedikit eksposisi dan seputar eksplanasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa tercipta untuk membentuk maksud dan memaknai sebuah realitas ke dalam suatu kata. Bahasa sebagai sistem universal (language) tidak dapat dengan serupa atau sama diterima oleh berbagai orang karena terpisahkan oleh tempat dan wilayah geografis yang berbeda. Akhirnya sekelompok masyarakat dalam suatu tempat tertentu mengembangkan sendiri bahasanya (langue) berdasarkan kultur budaya dan etnosentrismenya masing-masing. Orang-orang yang lahir dan berkembang dalam keadaan keluarga yang beraneka ragam pun mempunyai bahasa masing-masing (parole) yang selalu terngiang-ngiang dalam alam bawah sadarnya yang berbeda dengan individu lain. Sedangkan masyarakat atau Negara yang mempunyai kekuasaan mampu dan mempunyai wewenang lebih kepada masyarakat sipil untuk menetapkan dan mengatur kehidupan tiap-tiap anggota masyarakatnya termasuk dalam hal berbahasa, menjadikan dirinya alat sensor sosial dalam merepresi dan mentransformasikan sebuah parole tiap individu menjadi sebuah langue yang lebih layak diucapkan terhadap sebuah instansi seperti Negara. Begitu banyaknya campur tangan sebuah ruang lingkup eksternal yang berada di luar internal diri kita, menjadikan alam pikir dan diri kita terepresi dan terkungkung ke dalam suatu bahasa, wacana dan teks yang semakin membingungkan karena sudah termanipulasi dan terekayasa. Dengan kata lain, kita hidup pada ruang dan tempat yang kebenarannya sudah dikaburkan oleh berbagai tujuan, kepentingan dan wacana yang dominan. Erich Fromm menyebutnya dengan alam bawah sadar sosial (social unconsciousness) dimana dengan rela dan concern kita menerima berbagai bahasa yang akhirnya membentuk sebuah informasi atau wacana. Dan dengan mudah pula kita dibuat patuh untuk mengucapkan suatu sistem kebahasaan.

Daftar Pustaka

Alfayad, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS.
Boerce, C. George. 2006. Personality Theories: Melacak kepribadian Anda Bersama
Psikolog Dunia. Yogyakarta: Prismasophie
Hardiman, F. Budi. 2003. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan
Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: BukuBaik