Senin, 11 Mei 2009

Gaya Hidup Punk Di Kalangan Mahasiswa

1 Pendahuluan
Punk selama ini dikenal oleh masyarakat umum dengan subjektivitas mereka sebagai sampah, sesuatu yang termajinalkan, sesuatu yang patologis, rambut mohawk dicat, pakaian berantakan ala berandalan, muka penuh dengan tindik dan piercing, serta segerombolan anak jalanan yang sarat dengan premanisme dan alkoholisme. Akan tetapi, punk juga ada yang mengartikan sebagai sebuah simbol pemberontakan dan perlawanan terhadap penindasan, kebobrokan, dan ketidakadilan yang dimanipulasi dan direkayasa oleh balutan selimut tatanan ketertiban. Bermain musik dengan suara parau dan lirik penuh pembangkangan dan diimplementasikan ketika mengamen di perempatan lampu merah. Begitu banyak indikasi dikotomi yang dihasilkan oleh anak-anak punk mengingat tampilan mereka yang urakan dan metodologi mereka yang terkesan kasar serta urakan untuk menyampaikan sesuatu membuat banyak orang memberikan opini yang beraneka ragam. Uniknya, basis dominasi para anak antikemapanan ini banyak diisi oleh anak yang sudah mapan dan sejahtera. Para mahasiswa sebagai kaum intelektual tidak sedikit yang tertarik dan mencoba mempelajari punk bukan hanya sebagai aliran musik tetapi juga sebagai kultur dan ideologi, malahan banyak pula yang akhirnya mencoba menampik dan meninggalkan kemapanan mereka untuk menjadi pelaku kehidupan punk.
Punk dirasa mampu menjadi wadah bagi aktivitas-aktivitas pembebasan mereka. Meskipun demikian, tidak mudah bagi khalayak umum untuk memahami dan menelaah kinerja kaum punk karena pada kenyataannya sistem perjuangan mereka dirasa terlalu arogan, melebihi batas bahkan salah arah dan pada beberapa kesaksian ternyata perilaku para kaum punk sudah meresahkan masyarakat dan masuk pada tahap tindak kejahatan. Ada kemungkinan selama ini punk oleh anak-anak muda hanya dijadikan proses pencarian jati diri, bahkan lebih parah lagi punk hanya dijadikan sebagai mode dan tren musik semata. Untuk memahami dan mengamati arus punk dan pengaruhnya secara lebih detail serta mendasar tentu perlu dilakukan penelusuran sejarah bagaimana punk masuk ke Indonesia hingga mampu menarik minat para anak muda sampai menjiwa dan mendarah daging menjadi suatu gaya hidup. Perlu pula diadakan komunikasi dan interaksi dengan pelaku punk, dalam hal ini para mahasiswa sebagai kaum intelektual yang konseptual, tentu saja dari sudut pandang individu dan kacamata sosial. Diharapkan, punk tetap menjadi senjata pembebasan dan perjuangan terhadap kecarut-marutan konstitusi negara yang kejam dan memperlakukan hak asasi manusia secara tidak adil. Setidak-tidaknya bagi kaum punk sendiri mereka memimpikan sebuah ruang yang tidak teralienasi untuk sekadar mencurahkan ekspresi kekecewaan terhadap keadaan sekitarnya yang memprihatinkan lewat cara-cara yang positif.

Mengapa Psikoanalisis dan Marxisme?
Dalam teori psikoanalisis, Freud mencoba mempostulatkan bahwa karakter manusia ditentukan oleh aspek-aspek biologis seperti represi, emosi dan kebutuhan-kebutuhan biologis yang lain, sedangkan Marx berpendapat bahwa manusia ditentukan oleh masyarakat tempat di mana dia hidup, khususnya ditentukan oleh sistem ekonomi yang berlaku di masyarakat itu. Sebenarnya kedua teori ini memiliki hubungan yang ambivalen bukan hubungan oposisi biner. Walaupun kedua teori ini tercipta oleh orang yang berbeda dan pada zaman yang berbeda pula, keduanya memiliki banyak keterkaitan dan persamaan. Keduanya menekankan paradigma yang absolut. Freud menekankan bahwa segala tindakan manusia didasarkan pada kebutuhan seksual semata, sedangkan Marx menekankan bahwa segala tindakan manusia didasarkan pada dorongan kebutuhan ekonomi semata. Jika Freud mempunyai landasan berupa logika, Marx mempunyai landasan berupa ideologi. Kedua landasan itu jika diterapkan melebihi batas dan dosis juga sama-sama memiliki efek samping, yaitu neurosis dan eksploitasi manusia. Mungkin perbedaan yang paling mencolok adalah Marx penuh keyakinan, sedangkan Freud penuh keragu-raguan. Terbukti pada akhir hayatnya, Freud menyadari bahwa ada keinginan manusia yang lain, yaitu keinginan untuk mati yang akhirnya melahirkan hal baru dalam teori Freudian insting kehidupan dan insting kematian.
Kedua teori ini dipakai bersamaan untuk meneliti pelaku punk dan kultur komunitasnya tentu memiliki alasan yang kuat. Manusia adalah mahkluk individu yang memiliki kepentingan-kepentingan emansipatoris dan hasrat-hasrat yang dapat menimbulkan tindakan-tindakan tertentu, mahkluk yang motivasional. Akan tetapi, perlu diingat bahwa manusia juga merupakan mahkluk sosial yang hidup dalam mayarakat yang penuh dengan kemajemukan tujuan dan aktualitas yang berbeda-beda. Dengan mengintegrasikan kedua teori ini maka Marxisme memiliki landasan psikologisnya dan psikoanalisis tetap menyadari kekuatan sosial di sekitarnya yang merepresi dan memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan karakter individu.
Dalam pemakaiannya, kedua teori ini akan meluas dan mengalami pelebaran sampai ke psikoanalisis Eric Fromm, hegemoni Gramsci atau filsafat Nietzsche. Bagaimanapun juga hal itu merupakan kontinuitas yang derivasional, di mana prinsip asli disesuaikan dengan kondisi zaman yang berubah-ubah.

2 Latar Belakang dan Hakikat Punk

2.1 Punk sebagai musik
Musik punk lahir di Inggris sekitar tahun 1975 yang merupakan persekutuan mustahil dari beraneka ragam tradisi musik seperti rock ‘n roll, northern soul dan reggae. Barulah ketika Sex Pistols tampil, punk mulai diakui. Kord-kord gitar pada musik punk biasanya merupakan kord-kord mayor dasar dan berpindah-pindah dengan cepat. Iramanya menghentak cepat dan bernuansa riang. Vokalnya diisi oleh suara yang serak, kadang melengking kadang berat dan sesekali disertai teriakan. Distorsi musik dan permainan gitar yang terkesan kasar menambah esensi dari musik punk. Lirik-lirik lagunya merupakan kritik terhadap pemerintah dan keadaan sekitar. Seiring berkembangnya zaman musik punk mulai termodifikasi dan melahirkan aliran-aliran lain seperti ska, punk rock dan melodic punk.

2.2 Punk sebagai gaya hidup
Dalam melegitimasi tampilan mereka, kaum punk memakai busana eklektik berupa forma “cut up” (sobekan), jaket kulit yang penuh dengan spike (semacam tiruan duri yang terbuat dari logam), celana pipa/celana pensil (celana panjang ketat), sepatu boot, berbagai aksesoris dan perhiasan dari kulit dan logam seperti gelang dan kalung, dan rambut berbagai model (biasanya mohawk). Gaya punk mengandung bermacam-macam pantulan terpiuh dari semua subkultur perang. Estetika punk ini dapat dibaca sebagai usaha untuk mengungkap kontradiksi yang tersirat dalam glam rock yang merupakan pesolek ekstrem dan mengalami elitisme tingkat dini. corak kelas pekerja, kelusuhan dan membuminya punk bertentangan langsung dengan keangkuhan, keanggunan, dan kecerewetan para superstar glam rock.

2.3 Punk sebagai prinsip dan idealisme
Punk tercipta dan terlahir di Inggris karena kerasnya kapitalisme industri pada waktu itu, maka wajar jika metode yang mereka pakai terkesan arogan dan berbau brutalisme. Masyarakat pun mendiskreditkan tindakan-tindakan kaum punk, bahkan sampai masa sekarang sebagai tindakan kriminal. Dalam teori Freudian, hal semacam ini disebut sindrom Stockholm, yaitu rasa simpati, kebanggaan dan merasa benar ketika telah melakukan tindakan yang dirasa orang lain sebagai sesuatu yang buruk. Memang tidak semuanya demikian, tetapi beberapa anak punk di Indonesia adalah atheis. Hal ini bisa terjadi karena sistem dan ideologi yang mereka terapkan adalah sistem anarkhi. Sistem ini meniadakan institusi yang lebih tinggi seperti negara atau Tuhan karena masyarakat humanistik berorientasi pada manusia dan kemanusiaannya. Dalam paradigma fundamental mereka, kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan baru akan terjadi ketika negara lenyap dan tiada, sosialisme dan komunisme-pun bukan jalan terbaik bagi mereka. Bagi mereka, manusia harus menggunakan skeptisme radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naïf jika akal dipercaya mampu memperoleh kebenaran (Tuhan). Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.
Jika dalam keyakinan mereka tidak ada institusi atau sesuatu yang lebih tinggi yang menaungi dan mengontrol mereka, akan sering timbul kesalahpahaman dan persinggungan aktualitas antara kaum punk dan masyarakat karena “kebenaran” yang mereka yakini sangat relatif dan fleksibel bahkan nihil dan tidak sesuai dengan kesepakatan moral suatu masyarakat. Yang menjadi permasalahan adalah ketika mereka meyakini “kebenaran” kaum punk adalah suatu “kebenaran” yang bermotif massal atau berprospek suatu gerakan dan disertai dengan tindakan konkret yang negatif maka itu bisa dianggap sebagai ancaman dan bahaya oleh masyarakat.
Pada faktanya, tidak ada perjanjian atau kesepakatan khusus dan bersifat paten terhadap norma-norma dan peraturan dalam punk. Perlu diingat bahwa, punk adalah suatu komunitas yang menentang rasialisme dan bisa menerima siapa saja untuk masuk ke dalam komunitas mereka. Maka orang-orang yang bebal dan tidak beradab sekalipun mampu mengaku sebagai anak punk dan melakukan tindakan-tindakan yang buruk.
Sampai sekarang terjadi ambiguitas dan kebimbangan melihat kasus bahwa visi, misi, dan eksistensi kaum punk kurang jelas. Ada yang mengatakan bahwa punk tidak lebih hanya sebagai refleksi, respon, dan protes kekecewaan mereka saja terhadap kemapanan dan ketidakadilan yang dituangkan dan disajikan dalam bentuk tampilan dan gaya/style. Namun, ada juga yang menekankan bahwa punk tidak hanya duduk bergerombol dan bermalas-malasan di depan sebuah emperan toko atau supermarket, punk tidak hanya minum mabuk-mabukan sampai tidak mampu berdiri dan mengangkat pantat mereka dari tanah, punk tidak hanya menunggu sesuatu, tetapi punk bergerak dan bertindak serta ikut andil dalam usaha meruntuhkan dan menghancurkan kebobrokan masyarakat.

3 Mahasiswa yang Menjalani Gaya Hidup Punk
Mahasiswa adalah kaum intelektual yang dengan inteligensi dan kebrilianannya diharapkan oleh masyarakat dapat bersikap kritis dan peka menanggapi berbagai situasi yang tidak berjalan dengan baik. Mahasiswa juga merupakan penyambung aspirasi rakyat yang menanggapi berbagai wacana yang terjadi dengan berdemonstrasi atau menyumbangkan hasil pikirannya untuk membangun negara. Pada momen dan atmosfer kemahasiswaan seperti ini, tidaklah mengherankan banyak mahasiswa yang menceburkan diri ke dalam dunia punk. Bahkan banyak juga yang mengaku sudah menjadi anak punk sebelum mereka memasuki bangku kuliah. Jika kita amati lebih dalam, terdapat banyak interpretasi dan tafsiran tentang maksud dan arti punk yang mereka kemukakan. Ironisnya banyak yang tidak saling berkaitan, bahkan bertentangan.
Prima (20) mahasiswi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya UGM angkatan 2005 mengaku sebagai anak punk. Dengan materialisme dialektisnya dia menjadi seorang atheis dan dengan prinsip menyayangi mahkluk hidupnya dia menjadi seorang vegetarian (dalam istilah punk disebut straightedge). Prima mempunyai band punk. Dia tidak hanya bermain musik saja, tetapi juga menulis buletin pribadi setiap bulannya (semacam buletin sosial politik). Dia aktif pula dalam kegiatan politik di komunitas berpaham anarkhi. Dari Prima diperoleh informasi bahwa banyak kegiatan sosial yang dilakukan oleh anak-anak punk. Misalnya, ketika dia pergi ke Jakarta menemui anak-anak punk Jakarta (mereka tergabung dalam band Marjinal) ternyata kegiatan rutin mereka adalah mengajar sekolah gratis yang didirikan oleh mereka sendiri. Setelah itu, dia pergi ke Bandung untuk mengikuti diskusi dengan anak-anak punk Bandung, semacam diskusi sosial budaya bulanan. Perlu diketahui bahwa Prima adalah anak tunggal dari keluarga berekonomi menengah ke atas yang tentu saja kebutuhan dan keinginannya selalu terpenuhi, namun dia menolak untuk ikut tercebur dan terseret arus globalisasi dan pasar bebas. Dia sering mengutuki dan menyumpahi barang-barang dan produk-produk kapitalis dalam dan luar negeri.
Banyak orang mendiskreditkan dan mengaitkan punk dengan pengangguran. Hal itu tidak sepenuhnya benar, Tatang (26) mahasiswa Fakultas Hukum UII Yogyakarta angkatan 2001 sembari menyelesaikan kuliahnya, dia bekerja sebagai provider internet di jogja. Dari Tatang diperoleh informasi bahwa banyak kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan oleh anak-anak punk di Blora, misalnya diadakan event musik bertajuk “Sedulur Bebas” untuk menyambut teman-teman tahanan yang baru keluar dari penjara. Ada juga aksi bersama memperingati hari lingkungan hidup yang dilakukan oleh anak-anak punk Blora dengan cara reboisasi.
Walaupun begitu terdapat kontradiksi antara apa yang dilakukan oleh anak punk satu dengan anak punk yang lain. Nat (21) misalnya dengan sifat hedonis dan sikap konsumerismenya hanya melakukan aktivitas-aktivitas seperti bermain band, minum-minum, foya-foya, bersenang-senang dan menghabiskan uang untuk membeli busana punk. Pak’e (24) anak punk Semarang dengan berdalih tidak ingin merepotkan orang tua dan orang rumah, dia turun dan tinggal di jalan namun tidak bekerja dan tidak melakukan produktivitas apapun yang berguna.
Banyak pula event-event musik punk yang menggembar-gemborkan persatuan dan persaudaraan namun masih dibumbui dengan perkelahian dan baku hantam. Pemalakan dan perampokan pun beberapa kali terjadi dan menurut beberapa kesaksian, disinyalir pelakunya adalah anak punk. Fromm mengemukakan ada tiga bentuk pencarian kebebasan manusia :
1.Otoritarianisme bentuk pencarian kebebasan dengan cara menindas dan menguasai orang lain. Ada dua hal yang ditawarkan di sini, yaitu dikuasai dan tunduk pada orang lain atau menjadi yang berkuasa dan menentukan struktur orang lain. Pada masa sekarang, bentuk otoritarianisme sangat tampak pada orang-orang atau pejabat yang bersembunyi di balik kekuasaan orang lain untuk ikut menguasai dan menindas orang.
2. Destruktif bentuk pencarian kebebasan untuk menanggapi kekejaman dunia terhadap si manusia itu dengan cara merusak dan menghancurkan. Bentuk ini berjalan dalam dua metode. Pertama, dengan cara meniadakan diri sendiri (dengan mengakhiri atau menghilangkan diri saya maka dunia tidak akan menyiksa saya) atau dengan cara kedua, yaitu dengan menghancurkan dunia (dengan menghilangkan dunia maka tidak ada yang dapat menyiksa saya). Contoh paling ekstrem dari bentuk ini adalah vandalisme, brutalisme dan bunuh diri
3. Konformitas otomaton bentuk pencarian kebebasan dengan cara berubah-ubah menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Orang yang memakai bentuk pelarian ini berpikir bahwa jika dia terlihat tidak berbeda dengan orang lain maka dia tidak akan sendirian atau disisihkan. Tentu saja hal ini terkesan sangat hipokrit karena orang seperti ini mirip bunglon dan tidak memiliki jatidiri. Bentuk ini tampak pada anak-anak muda yang selalu terbawa arus tren atau mode lewat televisi atau media massa yang lain.
Dalam kajian dunia punk, bentuk pencarian kebebasan nomor 1 adalah objek resistensi kaum punk yang paling utama dimana imperialisme atau penindasan dalam bentuk apapun termasuk institusi atau birokrasi ditentang habis-habisan. Tetapi tanpa disadari terkadang kaum punk sudah memasuki wilayah ruang lingkup bentuk pelarian nomor 2. Dalam beberapa kasus, jargon-jargon atau ritus-ritus perjuangan mereka sudah melanggar kesepakatan hukum dan merugikan masyarakat umun dan warga sipil, seperti keberingasan dan pengrusakan. Hal ini berjalan pada tahap transendental. Terkait dengan metode penghancuran internal atau pengrusakan diri sendiri (mashokisme sampai bunuh diri) sangat berelevansi dengan latar belakang terciptanya remaja punk dari sebuah keluarga. Ada dua bentuk keluarga, yaitu keluarga simbiotik dan keluarga acuh tak acuh. Keluarga simbiotik adalah keluarga dimana keberadaan satu anggota keluarga mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Contohnya adalah seorang anak yang “dikuasai” oleh ayahnya hingga seorang anak tumbuh seperti bayangan ayahnya, kreativitas dan kebebasan si anak tidak dibiarkan berkembang. Contoh lain adalah anak yang terlalu dimanja hingga secara hiperbolis terkesan “menguasai” orang tuanya. Sedangkan bentuk keluarga kedua tampak pada anak yang jarang mendapat perhatian dan kasih sayang orang tuanya karena orang tuanya terlalu sibuk bekerja. Seorang remaja dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak punk dari dua jenis keluarga seperti ini. Remaja yang kurang mendapat tempat untuk berekspresi dan memperoleh kemerdekaan kebebasannya sehingga mengambil jalan hidup punk untuk belajar memberontak ataupun remaja yang kurang mendapat tempat untuk berbagi cerita dan kasih sayang sehingga dia dengan bebas dan mudah mampu terseret oleh pergaulan manapun baik ataupun buruk.
Mengingat keluarga adalah sarana perpanjangan tangan dan mediasi masyarakat dalam memaksakan tuntutan-tuntutan institusional, maka kekuatan-kekuatan sensor sosial yang mengekang dan membentuk paksa karakter seorang remaja dirasa terlalu kuat. Jika seorang remaja tidak cukup kuat untuk melawannya maka pelampiasan dan jalan terakhir adalah dengan menghancurkan diri sendiri. Dalam beberapa kasus di dalam kehidupan punk, pengkonsumsian minuman keras atau obat-obatan terlarang, bahkan secara lebih empiris melukai diri sendiri (salah satu contohnya adalah dengan menyayat-nyayat lengan dengan pisau) disebabkan oleh beberapa faktor tersebut.
Tato dan piercing bukanlah jalan atau sarana untuk menyakiti diri sendiri. Putri (21) mahasiswi antropologi UGM yang mengaku anak punk menyatakan bahwa tato dan piercing lebih mengarah dan terfokus kepada estetika seni dan apresiasi diri.

D. Pendapat dan komentar mahasiswa umum terhadap punk
Sebagian besar mahasiswa pada saat sekarang ini sudah cukup mengetahui dan memahami tentang identitas dan prinsip kaum punk entah lewat buku, obrolan atau media massa. Mahasiswa umum sudah menyadari bahwa yang dinginkan kaum punk setidaknya adalah keselarasan dan kesamarataan (equality). Kaum punk tidak ingin dipandang sebelah mata tanpa ada underestimate ataupun judge sepihak. Mungkin mahasiswi-mahasiswi masih sedikit takut karena tampilan anak punk masih menyiratkan premanisme. Wian (20) mahasiswi Sastra inggris Universitas Dian Nuswantoro mengaku agak takut ketika beberapa anak punk masuk dan mengamen di kantin kampusnya. Beberapa teman Wian juga menyatakan hal yang serupa karena dandanan mereka seperti gembel yang tidak pernah mandi. Perlu diketahui bahwa dalam kesehariannya, anak punk bukan tidak pernah mandi melainkan jarang ganti baju mengingat busana dan aksesoris anak punk cukup rumit. Mahasiswa-mahasiswa umum juga walaupun tidak terlibat kegiatan-kegiatan sosial politik temannya yang kebetulan anak punk, mereka mendukung dan menghargai semua yang dilakukan teman punknya selama itu positif dan tidak merugikan orang lain.

E. Punk di Jogjakarta
Basis anak-anak punk cukup menjamur di kota jogja. Kita dapat melihatnya di berbagai tempat, salah satunya di lampu merah pertigaan Jl. Solo dan Jl. Affandi di depan Saphir square mall. Selain itu, sudah banyak pula event musik punk yang diadakan di kota jogja, beberapa di antaranya adalah Jogja hari ini, We are Friend dll. Biasanya event-event itu diadakan di beberapa café seperti Bunker café, Gerbong café dan Kedai Kebun. Prestasi dan produktivitas anak-anak punk dalam bidang jurnalistik dan wacana ditunjukkan dalam pembuatan majalah-majalah dan buletin. Beberapa di antaranya adalah :
1.Fightback (editor : aghus, xmartinx,nxd)
2.Better Day (editor : xnanux)
3.Desalinization (editor : adit)
4.Menolak Tunduk (editor : Bintang dan Prima)
5.Api (editor : inug)
6.Freaky Mind (editor : andi)
7.Entah (editor : tata)
Selain itu, banyak pula kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan oleh anak-anak punk jogja seperti Food not Bomb (pembagian makanan gratis kepada anak-anak jalanan), diskusi dan seminar serta pemutaran film yang diadakan di universitas-universitas.

F. Jenis musik dan lifestyle lain sebagai tambahan informasi
Sebenarnya ada beberapa musik atau gaya hidup underground yang lain yang mirip dengan punk dimana musik ditansformasikan sebagai alat pemberontakan dan kendaraan perjuangan, dan tentu saja saling berkaitan, beberapa di antaranya adalah :
1.reggae
reggae dibentuk dengan gaya unik, dengan bahasa patois jamaika dan menggunakan ritme yang lebih berat dan murung di sekitar alur bas yang lebih menonjol dan sederhana. Menggunakan kultur lisan Jamaika dan pemanfaatan yang khas injil (dalam teori Frudian hal ini disebut asketisisme/ cara hidup pendeta}. Gema Afrika terdengar pada perkusinya yang khas. Reggae menyerukan perlawanan terhadap perbudakan, penindasan dan apartheid. Pada masa sekarang reggae dan punk sering berkolaborasi, bekerjasama dan mengadakan kegiatan bersama karena merasa mempunyai satu visi yang sama yaitu kebebasan.
2. Heavy metal
Berangkat dari musik kencang, cepat, keras dan cadas heavy metal mengusung tema kegelapan sebagai kritik sosial yang lebih eksplisit. Kebusukan dan kemuraman moral dalam diri sendiri dikontemplasikan dan dituangkan dalam sound gitar yang berat dan suara vokal yang berat. Dalam proses dan perjalanannya hingga sekarang, musik heavy metal berkembang menjadi banyak cabang musik seperti trash metal dan hardcore. Hardcore sendiri adalah gabungan dan kombinasi dari musik punk dan heavy metal, namun wacananya lebih teoritis dan konseptual.
3. Skinhead
Skinhead sebenarnya bukan merupakan sebuah aliran ataupun jenis musik, kaum skinhead muncul sebagai faksi terpisah dari subkultur punk. Dengan keberingasan proletarian, puritan dan chauvinis, kaum skinhead mengenakan seragam yang berbeda dengan kaum punk. Tampang nakal tapi berpotongan rambut bersih, baju menempel ketat dan rapi. Budaya working class seperti skinhead sebenarnya juga berkaitan dengan gerakan politis. Working class adalah bagian terbesar dari roda yang menjalankan produksi kaum kapitalis. Working class adalah sebuah kelas yang digunakan, ditindas dan ditipu oleh kaum kapitalis, oleh karena itu, sama seperti punk sepertinya sangat absurd kalau skinhead yang dimulai dari budaya working class itu menjadi gerakan yang sama sekali apolitik. Gerakan politik tersebut kini dilanjutkan oleh beberapa gerakan yang mayoritas didominasi oleh kaum skinhead seperti organisasi ARA (Anti Racist Action) ataupun RASH (Red and Anarchist Skinhead) yang secara jelas merupakan sebuah gerakan politikal radikal yang menentang sistem kapitalisme.
Perlu diketahui bahwa layaknya punk, kaum reggae, metal dan skinhead di kota jogja cukup banyak. Mereka memiliki komunitas dan basecampnya masing-masing tetapi tidak saling bertentangan. Seperti juga punk, mayoritas penganut musik dan lifestyle tersebut didominasi oleh anak muda dan mahasiswa.

G. Penutup
Pada intinya, pergerakan punk sesungguhnya adalah sebuah gerakan revolusioner anti penindasan dan sebuah gerakan libertarian dari sekelompok orang yang tidak puas dengan kondisi masyarakat saat ini. Apapun yang dilakukan demi keadilan dan kesejahteraan orang banyak pasti akan tetap bertahan sampai kapanpun dan mendapat tempat walau Cuma sedikit saja. Hanya terlalu jauhnya lintas pemikiran dari tiap individu yang berbeda dalam suatu masyarakat yang membuat tiap orang tidak saling memahami bahkan memusuhi. Penyimpangan dalam suatu kultur atau ideologi adalah sebuah resiko. Maka dari itu perlu ditegaskan lagi prinsip equality atau keseragaman dalam punk. Seperti ditegaskan dalam teori Gramsci bahwa hegemoni merupakan upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Dengan cara ini maka etos perjuangan kaum punk menjadi jelas, terorganisir dan diharapkan tidak akan memaksakan suatu logosentrisme dalam keberbedaan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar