Senin, 11 Mei 2009

Memahami perbedaan antara bentuk kata sich, ya dan imbuhan –kah

Bahasa pada prinsipnya adalah perangkat komunikasi yang didasarkan pada konvensi sosial. Dalam keseharian kita, bahasa tidak dapat dilepaskan dari sistem pemaknaan tertentu yang dipakai untuk menunjuk suatu realitas. Sistem pemaknaan inilah yang disebut dengan “tanda”. Menurut Saussure, langue adalah khazanah tanda. Ia mengandung perbendaharaan tanda yang masing-masing arbitrer karena setiap tanda memiliki referensi terhadap suatu objek tanpa kita ketahui latar belakangnya dan konvensional karena tanda-tanda itu dilembagakan dalam konvensi sosial dan dibakukan ke dalam sistem langue. Menurut Freud, seluruh perilaku manusia termasuk berbahasa didorong oleh nafsu atau nalurinya (id). Naluri tersebut mencakup berbagai tujuan, kepentingan dan motivasi. Dalam berbahasa manusia (ego) menipu diri tentang dirinya sendiri karena adanya mekanisme-mekanisme tak sadar dalam dirinya yang berupa tekanan-tekanan psikis. Konflik-konflik psikis ini merupakan akibat represi terhadap naluri-naluri yang penyalurannya dilarang di dalam masyarakat (superego).
Dalam implementasinya, masyarakat sebagai institusi formal membentuk paksa mekanisme berbahasa sesorang menjadi lebih patuh, sopan dan terkontrol di hadapan masyarakat. Dalam tataran gramatikal, frase siapa sich, siapa ya dan kata siapakah memiliki fungsi yang hampir sama, namun di dalam masyarakat tiga bentuk tersebut tidak dapat diterapkan ke dalam situasi yang sama. Frase siapa sich yang berfungsi untuk menanyakan seseorang tentu kurang tepat jika dipakai untuk menanyakan presiden dalam acara kenegaraan. Begitu pula dengan kata “siapakah” tentu akan terasa aneh jika digunakan dalam aktivitas berbahasa dalam pertemanan sehari-hari. Hal ini terkait dengan konteks. Dalam ilmu pragmatik, terdapat hal yang disebut dengan validitas tindak tutur (felicity conditions) dimana orang yang mengutarakan tuturan harus sesuai. Selain harus terdapat keseimbangan antara penutur dan lawan tutur (participants), perlu juga penyesuaian penempatan ujaran atau tuturan dalam speech situation yang tepat. Hal ini perlu dilakukan supaya inferensi atau jembatan kesimpulan dapat sampai kepada orientasi tujuannya (goal oriented activities). Frase siapa sich dan siapa ya merupakan frase yang sama-sama dipakai dalam kalimat interogatif yang bersifat informal, namun walaupun hampir mirip arti dan fungsinya keduanya memiliki perbedaan. Frase siapa sich sering hadir dalam tindak tutur ekspresif karena sebenarnya si penanya sudah mengenal atau setidaknya sudah pernah bertemu dengan orang yang dimaksud, sedangkan frase siapa ya seringkali hadir dalam ujaran penanya yang sama sekali tidak kenal dengan orang yang dimaksud. Keragaman berbahasa antara orang yang satu dengan yang lain disebut dengan parole atau di dalam ilmu pragmatik disebut dengan idiolek.
Munculnya keragaman bahasa dan patron-patron yang berlaku sebagai sensor sosial yang mengatur waktu dan tempat pemakaian berbagai jenis bahasa disebabkan karena berbagai faktor. Perbedaan latar belakang, lingkungan dan kondisi sosial tentu menimbulkan pula perbedaan dalam berbahasa dan dalam menyampaikan informasi atau tujuan. Oleh karena itu, pemerintah dalam usahanya mencanangkan program berbahasa Indonesia kepada masyarakat menggunakan keluarga atau orang tua sebagai mediasi atau perpanjangan tangan kekuasaan eksternal Negara ke dalam dunia internal individu. Bahasa Indonesia sebagai wacana dominan ini dapat menyebabkan seorang individu dianggap berada dalam keadaan patologis karena ia menyimpang dari model-model komunikasi dan interaksi dalam konteks masyarakatnya. Konflik inilah yang dapat menimbulkan neurosis individual maupun kolektif. Menurut Erich Fromm, seorang psikolog Amerika yang mencoba mengintegrasikan teori psikoanalisis Freud dan Marxisme, salah satu bentuk penyelesaian konflik yang sering dipakai oleh orang-orang adalah bentuk “konfomitas otomaton” dimana seseorang menjadi luruh dan bermimikri menjadi seperti masyarakat yang ada di sekitarnya karena sudah terhegemoni oleh wacana yang dominan. Dalam konteks kebahasaan contohnya adalah ketika seorang pemuda desa mencoba berbahasa dengan memakai bahasa anak-anak kota yang terkesan “gaul” supaya dirinya mampu diterima, tidak disisihkan dan tidak dipandang sebelah mata. Pemakaian frase siapa sich dan siapa ya merupakan beberapa contoh bentuk konformitas otomaton dari frase-frase sebelumnya, mungkin frase sopo to? sopo je? dan lain-lain ketimbang memilih mengunakan kata “siapakah”.
Negara dalam aktualitasnya berada dalam tataran hierarkhis dimana dimensi ruang dan waktu, antara formalitas dan non-formal, tinggi dan rendah harus tetap diperlihatkan oleh garis demarkasi yang jelas untuk menjaga kewibawaan, kehormatan dan melegitimasi kekuasaan Negara sebagai institusi formal. Dalam hal ini bahasa digunakan sebagai alat pembeda antara situasi formal dan non-formal, antara masyarakat sipil dan masyarakat politik. Jadi ketika id bekerja dan bermekanisme di alam bawah sadar (unconsciousness) hasilnya belum tentu sama dan serupa di dalam ujaran alam sadar (conciousness) karena aktualitas kehidupan selalu terikat dengan konteks yang penuh dengan sensor-sensor sosial. Bahasa atau prokem kehidupan kita sehari-hari yang terkesan nyantai tidak bisa diucapkan ketika kita berada dalam suasana yang resmi. Hal ini juga dapat dengan jelas membedakan hakikat antara parole yang sering sejalan dengan kondisi alam bawah sadar kita dengan langue sebagai salah satu variasi bahasa yang bereksistensi dalam jargon-jargon kebahasaan formal.
Berdasarkan sedikit eksposisi dan seputar eksplanasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa tercipta untuk membentuk maksud dan memaknai sebuah realitas ke dalam suatu kata. Bahasa sebagai sistem universal (language) tidak dapat dengan serupa atau sama diterima oleh berbagai orang karena terpisahkan oleh tempat dan wilayah geografis yang berbeda. Akhirnya sekelompok masyarakat dalam suatu tempat tertentu mengembangkan sendiri bahasanya (langue) berdasarkan kultur budaya dan etnosentrismenya masing-masing. Orang-orang yang lahir dan berkembang dalam keadaan keluarga yang beraneka ragam pun mempunyai bahasa masing-masing (parole) yang selalu terngiang-ngiang dalam alam bawah sadarnya yang berbeda dengan individu lain. Sedangkan masyarakat atau Negara yang mempunyai kekuasaan mampu dan mempunyai wewenang lebih kepada masyarakat sipil untuk menetapkan dan mengatur kehidupan tiap-tiap anggota masyarakatnya termasuk dalam hal berbahasa, menjadikan dirinya alat sensor sosial dalam merepresi dan mentransformasikan sebuah parole tiap individu menjadi sebuah langue yang lebih layak diucapkan terhadap sebuah instansi seperti Negara. Begitu banyaknya campur tangan sebuah ruang lingkup eksternal yang berada di luar internal diri kita, menjadikan alam pikir dan diri kita terepresi dan terkungkung ke dalam suatu bahasa, wacana dan teks yang semakin membingungkan karena sudah termanipulasi dan terekayasa. Dengan kata lain, kita hidup pada ruang dan tempat yang kebenarannya sudah dikaburkan oleh berbagai tujuan, kepentingan dan wacana yang dominan. Erich Fromm menyebutnya dengan alam bawah sadar sosial (social unconsciousness) dimana dengan rela dan concern kita menerima berbagai bahasa yang akhirnya membentuk sebuah informasi atau wacana. Dan dengan mudah pula kita dibuat patuh untuk mengucapkan suatu sistem kebahasaan.

Daftar Pustaka

Alfayad, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS.
Boerce, C. George. 2006. Personality Theories: Melacak kepribadian Anda Bersama
Psikolog Dunia. Yogyakarta: Prismasophie
Hardiman, F. Budi. 2003. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan
Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: BukuBaik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar