Senin, 11 Mei 2009

Ilusi Yang Lebih Benar Daripada Kebenaran






Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat penonton atau pemirsa televisi, saat ini sedang kecanduan salah satu jenis acara yang namanya reality show. Hampir semua stasiun televisi swasta khususnya Trans TV, SCTV, RCTI, ANTV, dan mungkin juga yang lainnya memiliki acara reality show andalannya masing-masing. Trans TV memiliki reality show yang menurut saya paling laris ditonton masyarakat, yaitu Termehek-mehek, dan sekarang yang juga sedang digandrungi adalah Realigi. SCTV juga sekarang memiliki program reality show yang sedang booming yaitu Tukar Nasib. Selain itu, SCTV juga sejak dahulu menjadi gudangnya program reality show yang masyarakat konsumennya adalah kalangan anak muda macam Backstreet, Mak Comblang, Pacar Pertama, dan Kontak Jodoh. ANTV memiliki reality show HTS (Hubungan Tanpa Status), dan stasiun-stasiun televisi swasta yang lain mungkin juga memiliki acara reality show yang semacam itu.
Sepertinya tidak hanya saat ini saja atau baru dimulai tahun 2008 atau 2009 saja acara-acara reality show mulai menjamur di stasiun-stasiun televisi. Belum lama ini masih segar di ingatan kita terdapat beberapa acara reality show yang menjual pengalaman-pengalaman mistis kliennya macam Dunia Lain di TRANS TV, Uka-Uka di TPI, Fenomena Alam Gaib di Lativi (sekarang TV One), dan sebagainya.
Yang jadi masalah adalah produser-produser acara tersebut dan pihak stasiun televisi yang bersangkutan berani menggunakan label atau kedok kata “reality” untuk menyebut acara mereka sebagai reality show. Reality Show menurut saya mempunyai arti sebuah program acara di televisi yang mendokumentasikan realitas dan kejadian nyata dari pengalaman hidup seseorang yang kemudian dipertontonkan kepada masyarakat secara benar dan objektif. Karena Reality berarti “realita” maka di dalamnya jelas harus terkandung unsur kebenaran. “Realita” berbeda dengan “fakta”. Realita mempunyai signifikansi kejadian atau peristiwa yang sebenarnya atau apa adanya, sedangkan fakta adalah versi pemaparan atau versi penceritaan yang berbeda-beda dari tiap orang atau tiap narasumber yang berbeda pula. Fakta dapat berbeda-beda karena tanggapan dan kemampuan resepsi orang juga berbeda-beda tergantung dari latar sosial yang membentuk karakternya.
Selain karena sudah tidak adanya transparansi serta penjelasan yang menyertai acara-acara reality show tersebut untuk mengesposisikan bahwa dokumentasi tersebut sudah dibumbui adegan-adegan yang hiperbolis agar kisahnya semakin menarik, bumbu-bumbu cerita tersebut sekarang terkesan tidak mendidik dan pihak produser beserta tim kreatif hanya mementingkan sisi komersialitas belaka. Bagaimana tidak? Setiap reality show yang biasanya tema dan alur naratifnya selalu monoton ( bisa dipastikan temanya berkutat masalah pencarian orang hilang, entah anggota keluarganya, pacarnya, orang ketiga yang mengganggu hubungan asmaranya, dll) pasti selalu dibumbui dengan kekerasan dan kebencian. Wajar saja jika para generasi muda sekarang semakin tidak bisa rasional dan tidak dapat bertindak secara bijaksana tetapi hanya mengedepankan emosi kalau sedang menghadapi masalah. Masyarakat kita tiap hari selalu dicekoki tayangan-tayangan televisi yang berpotensi menanamkan bibit-bibit kebencian dan kedengkian.
Media pertelevisian di Indonesia saat ini semakin kehilangan fungsi dan tanggung jawabnya yang seharusnya bertujuan untuk memajukan budaya dan daya pikir sumber daya manusianya, malah berubah menjadi alat pembodohan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Atau lebih tepatnya lagi, mengapa hal tersebut dibiarkan terjadi? Jawabannya lagi-lagi adalah : uang. Akumulasi uang dalam sistem globalisasi memang mengubah peran alat komunikasi dan teknologi informasi serta merevolusinya dengan sangat cepat. Seperti kata Giddens, Revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi informasi sangat erat kaitannya dengan proses-proses globalisasi ( Giddens, 2002 : 35).
Melalui reality show, para kapital penguasa media elektronik tersebut menjual kisah dan pengalaman hidup seseorang yang akan ditambahi dan dibumbui dengan adegan-adegan kekerasan yang tentu saja telah menjadi selera masyarakat Indonesia karena masyarakat Indonesia juga semakin hari semakin termanjakan oleh unsur-unsur negatif seperti itu. Fenomena ini dinamakan Erich Fromm dengan watak pasar (marketing character), karena ia didasarkan atas pengalaman diri sendiri sebagai barang dagangan, dan atas pengalaman nilai seseorang bukan sebagai “nilai guna” melainkan sebagai “nilai tukar”. Mahkluk hidup menjadi barang dagangan di “pasar kepribadian” (Fromm, 1988 : 79).
Dan lihatlah, betapa liciknya para pengusaha dunia pertelivisian tersebut memanipulasi common sense atau pikiran awam masyarakat Indonesia yang polos dan lugu (atau mungkin bebal) dengan dalih-dalih sosial dan kemanusiaan. Ada reality show yang berdalih mencari anggota keluarga kliennya yang hilang, ada pula reality show yang suka mengeksploitasi kemiskinan dan penderitaan rakyat kecil demi mempertinggi tingkat rating tayangan mereka. Masalah lain lagi muncul namun tidak kita sadari. Saya menangkap fenomena ini dari dua tayangan reality show, yaitu Tukar Nasib di SCTV dan Duit Kaget (dulu Uang Kaget) di RCTI.
Jika memang kedua acara tersebut memang tanpa manipulasi dan rekayasa, sungguh betapa tidak mendidiknya kedua acara tersebut. Menurut hemat saya, program Tukar Nasib malah akan membuat pihak keluarga yang miskin menjadi malas dan berleha-leha dengan kekayaan sesaat mereka yang merupakan hasil pertukaran nasib selama beberapa hari dengan pihak keluarga kaya. Kecenderungan lain kadang muncul dalam acara Tukar Nasib. Pihak keluarga miskin kadang malah memiliki tanggapan yang sebaliknya terhadap kekayaan dan fasilitas mewah baru mereka. Mereka tidak terbiasa dengan rutinitas ala pengusaha dan tidak terbiasa hidup dengan lifestyle dan fasilitas yang serba mewah. Oleh karena itu, pihak keluarga miskin tersebut lebih memilih untuk kembali ke kehidupan miskin mereka, mensyukuri kemiskinan mereka ( yang bisa jadi disebabkan oleh kemalasan mereka atau pun sangat mungkin disebabkan oleh tidak sehatnya perekonomian Indonesia yang menyebabkan banyak rakyat kecil kalah dan tersingkirkan oleh dominasi pengusaha Indonesia yang memiliki banyak akses dan kuasa) tanpa mau mencoba berusaha mengubahnya.
Dalam acara Duit Kaget juga terjadi hal serupa. Jika memang benar Helmi Yahya sang raja reality show ingin menolong orang-orang miskin, sepertinya cara membagi-bagikan uang dengan nominal tertentu secara tiba-tiba lalu menyuruh mereka membelanjakannya dalam batas waktu tertentu sangatlah tidak baik dan tolol. Kecenderungan pertama adalah ketidakefisienan dan ketidakefektifan pembelanjaan uang karena kapasitas waktu berpikir yang sangat terbatas. Jumlah uang yang bisa dikatakan sangat banyak bagi orang miskin tersebut kadang digunakan untuk membeli barang-barang yang remeh-temeh dan tidak prinsipil serta tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, padahal kadang barang-barang remeh-temeh dan tidak prinsipil tersebut harganya cukup mahal. Kecenderungan kedua adalah tidak adanya sisi positif dengan cara membelanjakan uang secara tiba-tiba seperti itu, atau dengan kata lain adalah tidak adanya sisi pemberdayaan (empowerment). Alangkah lebih baik jika prosedur acara tersebut diubah. Instruksi terhadap pihak penerima uang tersebut harus diubah menjadi : uang tersebut harus digunakan untuk usaha atau bisnis yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka, dapat memberdayakan tenaga mereka, serta dapat melatih keterampilan dan potensi mereka. Dan kepada mereka sebelumnya diberikan penyuluhan dan pelatihan tentang pengembangan usaha mikro. Maka dari itu, yang akan akan dipertontonkan dan disiarkan dan menjadi bagian dari reality show ini adalah jalannya usaha atau bisnis yang mulai dijalankan oleh pihak penerima uang selama beberapa hari permulaan.
Tetapi tentu saja, dalam bisnis di dunia tayangan televisi, Helmi Yahya dan para sejenisnyalah yang menjadi pakar dan rajanya. Tentu saja mereka akan berpikir seribu kali untuk melakukan tindakan altruis atau perbuatan baik seperti itu. Tujuan utama mereka adalah uang, dan kalaupun mereka ingin memberikan kebaikan kepada orang lain, harus yang berdasarkan asas simbiosis mutualisme atau sama-sama menguntungkan ( “kamu dapat duit, saya dapat duit lebih banyak”). Jadi mungkin bagi mereka, acara-acara amal secara instan di televisi tanpa aspek pemberdayaan (empowerment) dirasa lebih komersil dan menghasilkan uang daripada bentuk acara reality show yang saya sarankan dan eksplanasikan di atas.
Reality show, jika kita akan menganalogikannya dengan sebuah film, tidak jauh beda dengan film dokumenter. Para penggagas dan para pekerja di dalamnya adalah orang-orang yang ahli dan mengerti strategi pasar. Seperti kata Vivian Idris, seorang co-produser film dokumenter bahwa membuat film dokumenter memang tak mudah. Film dokumenter sama saja dengan mengungkapkan dan meminjam hidup orang lain untuk ditonton khalayak ramai. Seluruh tim produksi harus turun langsung ke lapangan ( Hemawati dalam Gong. No 106 tahun 2009 : 39).
Dengan berat hati saya juga mengatakan bahwa para pekerja dalam program-program reality show juga bisa disebut sebagai seniman karena mereka memiliki konsepsi yang unik mengenai “realita” atau kebenaran itu. Bagi mereka, kebenaran subyektif dalam kesadaran seniman ini, dengan sendirinya harus diwujudkan secara obyektif publik. Di sinilah kecerdasan seniman diuji. Ia harus menyusun pola atau struktur bagi temuan kebenarannya itu. Metode seni semacam itu juga lah yang akhirnya menghasilkan aktor-aktor dan aktris-aktris dalam termehek-mehek dan sebagainya yang memainkan peran masing-masing. Aktor dan aktris ini tidak mau tampak membohongi publiknya. Ia tahu betul setiap gerak, ekspresi mimik, gestur, cara berbicara, cara berpakaian, dan lain-lain sehingga aktingnya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah ( Sumardjo dalam Gong. No 85 tahun 2006 : 29).
Telah sangat sedikit kita membahas tentang aspek produksi acara reality show serta latar belakang dan motivasi yang melingkupinya, sekarang kita akan kembali lagi ke aspek konsumen. Bagaimana dengan kita? Apakah kita hanya bertindak sebagai masyarakat konsumen? Masyarakat yang hanya pasif menerima tayangan-tayangan dari televisi? Masyarakat yang mau-mau saja disuapi ilusi-ilusi yang ditawarkan oleh Termehek-mehek dan kawan-kawannya. Masyarakat yang merasa terhibur ketika uang dihambur-hamburkan untuk pelegitimasian sebuah eksploitasi kemiskinan sementara uang tersebut tidak efektif larinya ke mana. Sementara para pengusaha-pengusaha tayangan televisi yang mendapat keuntungan, malah kita yang terhibur dan semakin terhibur.
Atau mungkin benar kata Baudrillard, bahwa kita memang masyarakat konsumen yang di dalamnya tidak pernah ada tontonan atau tayangan televisi yang cabul karena kecabulan dimulai ketika tidak ada lagi tontonan, tidak ada lagi panggung, teater, ilusi, ketika segala sesuatunya menjadi tembus pandang, dapat dilihat, diekspos dalam informasi dan komunikasi yang mentah dan tidak dapat dielakkan ( Baudrillard, 2006 : 12 ).
Ya, kita benar-benar masyarakat konsumen yang tolol dan bebal jika sudah tak dapat lagi membedakan antara cabul dan tidak cabul. Kita adalah masyarakat konsumen jIka sudah tidak dapat lagi menyadari kalau terdapat pertunjukkan teater di atas panggung yang besar dalam acara Termehek-mehek dan kawan-kawannya. Kita adalah masyarakat konsumen jika sudah tidak dapat lagi membedakan antara ilusi dan kebenaran. Lebih parah lagi kalau ilusi itu kita rasakan lebih benar daripada kebenaran itu sendiri.





Daftar Pustaka
Baudrillard, Jean. 2006. Ekstasi Komunikasi. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Fromm, Erich. 1988. Memiliki dan Menjadi : Tentang Dua Modus Eksistensi. Jakarta : LP3ES
Giddens, Anthony. 2002. The third Way : Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Jacob Sumardjo dalam Gong No. 85 tahun 2006 : 29
Retno Hemawati dalam Gong No. 106 tahun 2009 : 39

1 komentar: