Rabu, 27 Mei 2009

Gigolo Dalam Film-Film Indonesia

Gigolo Dalam Film-Film Indonesia

1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui, gigolo adalah sebuah profesi yang sering dipandang miring atau mendapat citra negatif oleh masyarakat. Mengapa saya menyebut “gigolo” sebagai profesi? Karena pada dasarnya gigolo bersinonim dengan kata “pelacur” atau pekerja seks komersial yang mampu mendapatkan uang dengan aktivitasnya tersebut, tetapi mempunyai pengertian atau signifikansi lebih khusus yaitu, pelacur pria atau pekerja seks komersial yang berjenis kelamin atau mempunyai gender pria/ laki-laki.
Tentu saja semua pelacur baik wanita maupun pria selalu mendapat citra buruk atau mendapat posisi yang termarginalisasikan dalam struktur masyarakat. Hal itu terjadi karena pekerja-pekerja seks tersebut dirasa melanggar aturan norma, susila, dan etika yang ada di dalam masyarakat (walaupun sebenarnya tetap diperbolehkan bereksistensi serta mendapat perlindungan hukum yang sama dengan orang-orang lain asalkan aktivitas pekerjaannya berada di dalam lokalisasi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah).
Dalam kehidupannya, para pekerja seks komersial tersebut sering disisihkan dan didiskriminasikan. Mereka dianggap patologis oleh orang-orang di sekitarnya dan sering mendapat perlakuan yang tidak adil, padahal pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang sama dengan kita. Kebanyakan pekerja seks komersial merasa berat hati melakukan pekerjaan mereka. Mereka melakukan hal tersebut karena terdesak tuntutan ekonomi dan karena keterbatasan kemampuan/ keterampilan (walaupun ada yang melakukannya untuk mendapatkan banyak uang dengan sekejap dan merasa enjoy dengan pekerjaan tersebut).
Bagaimanapun juga, pekerja seks komersial adalah salah satu profesi dan sekaligus identitas yang cukup unik untuk diamati. Sisi kehidupan manusia dan fenomena masyarakat yang selalu hangat untuk dibicarakan dan menarik untuk dijadikan objek kajian penelitian. Wajar saja jika profesi tersebut sering menjadi inspirasi serta tema untuk dijadikan sebuah karya seni ataupun karya sastra, dalam hal ini Film. Berbagai macam motivasi memang melatarbelakangi diciptakannya film-film dengan tema tersebut. Tanpa bermaksud untuk menjadi pihak yang pro ataupun kontra dengan adanya pekerja seks komersial, saya mencoba untuk meneliti berbagai aspek dan hal-hal menarik dalam film yang mengangkat tema atau kisah tentang gigolo. Mengapa gigolo? Karena mungkin penelitian tentang wanita tuna susila (pekerja seks komersial wanita) dalam film-film Indonesia sudah cukup banyak karena memang jumlah film yang mengangkat tema tersebut sangat banyak. Kedua, saya juga menangkap gejala-gejala dan hal-hal menarik tentang gigolo yang tidak dimiliki oleh wanita tuna susila (tentu saja yang saya tangkap oleh perepresentasian film-film tersebut).
Oleh karena itu, saya menggunakan tiga sampel film Indonesia yang mengangkat tema tentang gigolo, yaitu : Laki-laki Dalam Pelukan (1977), Jakarta Undercover (2007), dan Quickie Express (2008).


2. Pembahasan
Saya menangkap bahwa kegiatan seksualitas yang dilakukan oleh gigolo bukan hanya karena desakan ekonomi dan keterbatasan keterampilan untuk memperoleh pekerjaan, tetapi juga karena faktor “rekreasi” atau kesenangan. Seperti dikatakan oleh Etty Indriati bahwa hati (perasaan) memainkan peran dalam seksualitas di kehidupan, oleh karena itu seks dapat dipilah sebagai tujuan reproduksi atau rekreasi ( Etty dalam Basis tahun ke-55 : 46).
Apakah sebagian WTS juga tidak menjalankan profesinya atas dasar kesenangan juga? Berdasarkan kuantitas atau persentase, jumlah laki-laki atau gigolo yang senang dan sengaja melakukan profesinya memang lebih banyak. Hal tersebut terjadi karena budaya patriarkhial di masyarakat kita mengurangi tanggungan dan beban moral para laki-laki tersebut yang ingin menjadi gigolo, sekaligus mendiskriminasikan wanita dan merepresi opini masyarakat bahwa wanita yang melakukan seks bebas lebih tidak layak dan tidak terhormat dibandingkan dengan laki-laki.
Seperti dikatakan Freud, bahwa Budaya Patriarki menuntut “pembatasan atas kehidupan seksual” secara ekstensif, karena kegiatan seksual harus diregulasi secara hati-hati jika setiap masyarakat memungkinkan hal itu ( Nelson, 2003 : 137).
Freud juga mengatakan bahwa dalam masyarakat yang didominasi kaum laki-laki, memiliki penis atau menjadi pria dianggap lebih bernilai (Boeree, 2006 : 66).
Melani Budianta juga mengatakan bahwa perempuan dianggap lemah, suka berdandan, dan lebih sesuai untuk menghabiskan waktunya di dalam rumah, sedangkan pria dianggap cocok untuk melakukan aktifitas fisik dan intelektual, adalah norma-norma yang dibentuk oleh kondisi budaya dan masyarakat tertentu ( Aminuddin,dkk, 2002 : 204).
Kesenangan-kesenangan laki-laki tersebut dalam menjalankan profesinya sebagai gigolo tampak dalam adegan-adegan film berikut :
1. Dalam film Quicky Express, pada latar sebuah café di malam hari, Tora Sudiro, Aming, dan Lukman sardi yang berprofesi sebagai gigolo tampak sangat gembira menceritakan pengalaman pertama kerja mereka melayani klien masing-masing. Mereka senang menjalani profesi tersebut karena pekerjaan tersebut sangat mudah, cepat, menyenangkan ( karena secara otomatis nafsu mereka sebagai laki-laki juga terpuaskan), dan dapat menghasilkan uang banyak.
2. Dalam film Laki-laki Dalam Pelukan tokoh Togi yang diperankan oleh Rudy Salam juga merasakan pengalaman yang serupa. Dia merasakan bahwa cinta sejati yang selama ini diyakininya ternyata malah membuatnya sakit hati, dan menjadi gigolo yang berganti-ganti pasangan ternyata malah mengasyikan. Hal itu tampak dalam adegan ketika Togi dan Vera (yang diperankan oleh Yatti Octavia) melakukan sharing atau curhat sebelum “bercinta”. Togi mengatakan bahwa dia merasakan kebahagiaan yang luar biasa setelah melakukan persetubuhan dengan banyak wanita, termasuk dengan artis ternama Eva Miranda dan seorang “tante girang.”
3. Dalam film Jakarta Undercover, para gay dan banci yang pada awalnya adalah pemuda desa yang udik dan hendak merantau dari desa untuk mencari pekerjaan di Jakarta malah membanting setir untuk menjadi gigolo dan banci. Mereka sangat gembira melakukan hal tersebut.


Ada beberapa kesamaan hal dari film-film tersebut, yaitu :
1. Tokoh-tokoh gigolo pada film-film tersebut pada awalnya bermotif mencari pekerjaan (yang halal tentunya).
Tokoh Togi pada film Laki-laki Dalam Pelukan adalah seorang perantau dari Sumatera yang berkerja serabutan dan pada akhirnya bekerja sebagai bellboy di sebuah hotel. Jojo (Tora Sudiro) dalam film Quicky Express juga kebingungan mencari pekerjaan dan akhirnya sebelum menjadi gigolo dia bekerja sebagai tukang tambal ban.
2. Sama-sama pada awalnya digambarkan sebagai seseorang yang udik, sederhana, polos, dan jujur.
Tokoh Togi pada awalnya merasa sakit hati ketika sehabis tidur bersama, kemudian dicampakkan begitu saja oleh artis Eva Miranda. Jojo (Tora Sudiro) juga sama sekali tidak curiga dan tidak berprasangka ketika seorang mucikari sedang membujuk dan mempengaruhinya untuk menjadi gigolo.
3. Sama-sama menjadi konsumsi tante-tante high class.
Togi adalah konsumsi tante-tante kaya mulai dari tokoh Eva Miranda, tokoh Vera (Yatti Octavia), dan tokoh Larasati (Rae Vita). Jojo (Tora Sudiro) adalah juga konsumsi dari tante-tante kaya yang diperankan oleh Ira Maya Sopha.
4. Sama-sama dideskripsikan bahwa gigolo juga punya cinta sejati.
Togi akhirnya jatuh cinta pada Larasati (Rae Vita), Jojo (Tora Sudiro) akhirnya jatuh cinta pada tokoh yang diperankan oleh Sandra Dewi.
Mengapa hal-hal di atas disertakan dalam film-film tersebut oleh sutradaranya? Apakah hanya kebetulan? Jawabannya adalah tidak kebetulan, karena para sutradara tersebut memang ingin menyelipkan pesan dan amanat dalam film-filmnya.
Tokoh-tokoh gigolo tersebut yang sebelumnya adalah pemuda desa yang hendak mencari pekerjaan akhirnya malah terkontaminasi oleh budaya kota yang hedonis. Jadi, menurut interpretasi saya, film-film tersebut hendak mengingatkan bahwa kita harus tetap berhati-hati dan membentengi diri terhadap budaya-budaya yang negatif.
Tokoh-tokoh tersebut pada awalnya adalah orang-orang yang polos dan jujur tetapi berubah watak dan jati dirinya karena disakiti oleh pengalaman hidup. Pengalaman-pengalaman hidup kadang memang menciptakan paradigma baru di dalam diri kita. Seperti di katakan oleh Ary Ginanjar Agustian bahwa pengalaman kehidupan dan lingkungan akan sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang, yang berakibat pada terciptanya sosok manusia hasil pembentukan lingkungan sosialnya (Agustian, 2005 : 24). Menrut interpretasi saya, film ini hendak mengingatkan bahwa kita jangan mudah terjatuh oleh pengalaman-pengalaman masa lalu. Justru kita malah harus semakin bertambah kuat setelah mengalami pengalaman-pengalaman pahit.
Dalam proses penelitian ini, saya malah menangkap hal lain, yaitu citra “tante-tante” girang yang direpresentasikan dalam film-film tersebut. Tante-tante girang dalam film-film tersebut digambarkan sebagai wanita-wanita kaya, bergaya perlente (pakaian dan perhiasannya mewah-mewah), dan merokok. Menurut interpretasi saya, film ini hendak menunjukkan bahwa dalam masyarakat abad ini memang terdapat wanita-wanita kaya dengan gaya-gaya hedonis semacam itu (walupun kita tidak bisa menggeneralisasikan bahwa semua wanita kaya pasti seperti itu).
Kesamaan terakhir yang saya tangkap dari film-film tersebut adalah bahwa seberapapun negatifnya profesi sebagai gigolo, gigolo-gigolo adalah juga sama seperti manusia-manusia lainnya bahwa mereka juga punya rasa cinta, cinta sejati.


Penutup
Sebagai penutup, saya Cuma bisa mengatakan bahwa gigolo juga bagian dari masyarakat. Bagian dari kita semua sebagai manusia. Oleh karena itu, tidak sepatutnya kita menyisihkan dan mendiskriminasikan mereka. Kita tidak bisa saling membenarkan atau menyalahkan suatu pihak karena pada hakikatnya kita semua adalah sama, yaitu manusia. Tidak ada satupun manusia yang mengerti tentang arti suatu kebenaran. Seperti kata pepatah “Tidak ada kebenaran selain kebenaran itu sendiri.”
Lagipula, bisa dikatakan bahwa para gigolo adalah manusia-manusia yang malah sangat memahami arti cinta. Mereka tidak perlu mempunyai pacar, bahkan mereka tidak perlu menikah. Seperti kata Erich Fromm, bahwa “ orang tidak dapat mempunyai cinta. Kalau dapat , maka cinta itu harus merupakan suatu benda, suatu substansi yang dapat dipunyai, dimiliki, dikuasai. Yang benar ialah tak ada apa yang dinamakan “cinta” itu. “Cinta” merupakan suatu abstraksi, mungkin seorang Dewi atau mahkluk asing, meski tak seorangpun melihat Dewi ini. Dalam kenyataan, hanya ada tindakan mencintai (Fromm, 198 : 43). Fromm juga mengatakan bahwa hubungan-hubungan badan tidak memperlihatkan sifat-sifat yang rakus atau serakah dalam keinginannya untuk menaklukkan atau ditaklukkan, tapi akan berbaur dengan kelembutan serta kemesraan (Fromm, 2004 : 96).

Daftar Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar. 2005. ESQ. Jakarta: Arga.
Aminuddin, dkk. 2002. Analisis Wacana : Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta : Kanal
Boeree, C. George. 2006. Personality Theories. Yogyakarta : Prismasophie
Indrianti, Etty. Via Sindhunata.2006. Basis. Seksualitas dan Masa depan Manusia.
Fromm, Erich. 1988. Memiliki dan Menjadi. Jakarta: LP3ES.
Nelson, Benjamin (ed). 2003. Freud. Manusia Paling Berpengaruh Abad ke-20. Surabaya: Ikon.

1 komentar:

  1. Mas, bisa saya minta kontaknya. Soalnya saya butuh buku 'Analisis Wacana' karya aminudin dkk. Atau mas bisa hubungi saya jika hendak membantu.
    Bbm: 7ddbfce3
    Line: done.ach
    Trims

    BalasHapus