Senin, 11 Mei 2009

Struktur Lalu Lintas Dalam Paradigma Masyarakat

Satu nasehat sekaligus doa yang selalu diberikan oleh ibu saya kepada saya ketika saya akan bepergian dengan motor adalah : “Hati-hatilah saat berkendara di jalan, tidak hanya terhadap dirimu sendiri dan motor yang kamu kendarai, tapi juga hati-hati dan waspada terhadap orang lain beserta kendaraan yang mereka kendarai.” Menurut saya hal itu memang sangat benar, dan jujur saja dahulu saya memang sering mengabaikan aspek atau kalimat yang kedua.
Seperti kita ketahui kita hidup dalam ruang lingkup sosial atau masyarakat. Ruang lingkup yang terdiri dari begitu banyak agen atau pelaku tindakan, dengan begitu banyak kepentingan dan tujuan yang berbeda, dan tentu saja dengan begitu banyak aspek atau sistem kehidupan. Salah satu sistem kehidupan yang cukup kompleks yang mau tidak mau kita juga turut menjadi pemain di dalamnya adalah sistem berlalu lintas. Seperti dalam teori fungsionalisme, dalam sistem berlalu lintas kita mempunyai peran masing-masing yang harus kita jalankan dengan baik agar tercipta equilibrium atau keseimbangan. Ada peran atau fungsi sebagai pengendara mobil, ada pengendara motor, ada pejalan kaki, ada supir becak, ada pengendara sepeda, ada polisi, dan lain-lain. Dalam menjalani kehidupan, kita secara sadar (consciousness) ataupun tidak sadar (unconsciousness) merasa telah melaksanakan ketertiban atau menjaga fungsi kita dalam berlalu lintas dengan benar, atau bisa juga sebaliknya padahal sebenarnya tidak. Mengapa hal itu bisa terjadi? Tentu saja hal itu terjadi karena terkait dengan sesuatu yang dinamakan dengan struktur.
Menurut Anthony Giddens, struktur adalah relasi dualitas (relasi timbal balik, bukan relasi pertentangan) yang terjadi dalam praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu ( Priyono, 2002 :22). Praktik sosial itu bisa berupa kebiasaan menyebut pengajar dengan istilah guru/ dosen, kebiasaan membawa STNK saat mengendarai sepeda motor atau mobil, kebiasaan menghentikan kendaraan di lampu lalu lintas saat lampu berwarna merah, dan lain-lain. Praktik sosial tersebut dapat berlangsung di Yogyakarta atau Semarang (ruang/ tempat), dan terjadi tahun 2005, 2009 ataupun kapan saja (waktu). Tulisan ini mencoba mengangkat kasus-kasus berupa kebiasaan atau praktik-praktik sosial dalam berlalu lintas yang seharusnya tidak boleh dilakukan karena akan merusak equilibrium atau keseimbangan, tetapi sebenarnya kita telah atau bahkan selalu melakukannya.
Satu contoh kasus yang saya yakin pasti terjadi di semua daerah di Indonesia adalah kebiasaan pengendara motor menggunakan/ melewati trotoar untuk menghindari kemacetan di lampu lintas. Trotoar seharusnya menjadi domain/ lokus dimana para pejalan kaki mempunyai otoritas dan kebebasannya, tapi mengapa para pengendara motor merasa sewenang-wenang menggunakan trotoar secara egois tanpa mempedulikan keselamatan dan kenyamanan para pejalan kaki. Seperti kata Erich Fromm, di dalam masyarakat abad ini, siapa yang memiliki dia yang menguasai. Mungkin dalam pikiran para pengendara motor yang melakukan hal tersebut, “saya memiliki/ menaiki sepeda motor sedangkan kamu tidak. Tolong minggirlah hai para pejalan kaki supaya kamu tidak tertabrak. Saya cukup bijaksana kan? Kalau kamu tidak menjalankan kesepakatan yang saya tawarkan (lebih tepat saya paksakan) ya resiko yang kamu terima akan lebih fatal. Paling-paling saya sebagai pengendara motor Cuma ditilang, ditangkap polisi atau mengeluarkan biaya untuk pengobatanmu, tapi kamu? Kamu mempertaruhkan fisik, keselamatan, dan nyawamu untuk saya tabrak. Tentu tidak enak dan kesembuhanmu pastinya tidak sebentar.” Contoh lain yang paling fatal yang benar-benar mengubah dan memutarbalikkan paradigma kita selaku pengendara motor dan mobil adalah pemaknaan atau signifikansi kita tentang lampu kuning. Menurut pemahaman yang saya ingat dan ketahui dari Sekolah Dasar hingga sekarang, tanda “lampu kuning” menyala yang merupakan transisi atau jeda antara lampu hijau menjadi lampu merah mempunyai arti “kurangi kecepatan kendaraan anda” dan saat lampu merah anda harus benar-benar berhenti. Sepertinya kecenderungannya pada saat ini menjadi berubah bahkan terbalik, dari yang seharusnya “mengurangi kecepatan” malah menjadi “menambah kecepatan” supaya tidak terjebak lampu merah. Parahnya lagi hal itu menjadi kebiasaan yang tidak pernah kita permasalahkan dan bahkan tidak kita sadari/ kita lupakan. Menurut Anthony Giddens, “struktur” adalah implikasi dari apa yang disebut dengan “kesadaran praktis”. Kesadaran praktis menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai. Melalui gugus pengetahuan praktis ini, kita tahu bagaimana melangsungkan hidup sehari-hari tanpa harus mempertanyakan terus menerus apa yang terjadi atau yang mesti dilakukan. Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial kita lambat-laun menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/ praktik sosial kita ( Priyono, 2002 : 29-30). Mungkin kalimat lebih sederhananya seperti ini, “apa yang saya terima di sekolah tentang makna dan apa yang harus saya lakukan ketika saya naik kendaraan mendapat lampu kuning berbeda sama sekali dengan implementasinya di realita/ kenyataan. Dari awal saya naik motor di jalan raya sampai sekarang, struktur sudah membiasakan bahkan mengekang saya bahwa ketika lampu kuning saya malah harus menambah kecepatan kendaraan saya karena struktur dan kebiasaan di masyarakat memang seperti itu. Jika saya tidak berlaku kooperatif dan tidak bisa diajak berkoordinasi maka saya malah akan merusak sistem dan struktur yang sudah ada”. Misalnya ketika lampu kuning saya malah mengurangi kecepatan motor saya, resiko yang mungkin terjadi adalah saya diklakson dan dimaki-maki para pengendara motor dan mobil di belakang saya, atau bahkan saya ditabrak karena kendaraan-kendaraan di belakang saya dalam posisi menambah kecepatan agar tidak terkena lampu merah. Seperti juga dikatakan oleh Erich Fromm, orang dapat merasa terganggu oleh adanya perubahan yang kecil dalam kebiasaannya, karena kebiasaannya itu telah menjadi miliknya, yang kalau dihapus dapat membahayakan keamanannya ( Fromm, 1988 : 82). Oleh karena itu, daripada mengambil resiko yang dapat membahayakan diri kita sendiri dan orang lain, kita biasanya lebih memilih untuk tetap melanjutkan kebiasaan-kebiasaan jelek kita dalam berlalu lintas karena kebiasaan-kebiasaan tersebut telah menjadi struktur yang sudah mapan yang selama ini kalau dijalankan fine-fine saja (menurut kita).
Tentu saja, masih banyak pelangaran-pelanggaran lalu lintas yang sering kita lakukan dan akhirnya menjadi kebiasaan dan struktur. Misalnya di dalam lingkungan kampus UGM sendiri, kita (bahkan saya juga pernah melakukannya) selaku pengendara motor yang melewati Jalan Nusantara dari arah selatan pernah mencoba nekat untuk belok ke kanan memasuki jalan Humaniora. Padahal hal itu sebenarnya tidak diperbolehkan karena jalan Humaniora adalah jalan satu arah. Hal itu juga lebih ditegaskan lewat rambu-rambu lalu lintas yang terpampang jelas beserta dengan SKK-nya (satuan keamanan kampus) yang tiap hari berjaga. Apakah faktor yang melatarbelakangi kenekatan tersebut? Kembali lagi jawabannya adalah : kebiasaan. Seperti yang kita ketahui, sampai tahun 2007 Jalan Humaniora masih merupakan jalan/ jalur dua arah. Menurut saya faktor lain yang juga sering melatarbelakangi kita untuk terus melakukan tindakan-tindakan negatif dalam berlalu lintas karena kita sering bertindak berdasarkan ukuran kebaikan atau kebijaksanaan. “Jika saya melihat jalan satu arah tersebut sedang sepi atau tidak ada kendaraan yang melaju dari arah yang berlawanan, sepertinya saya boleh-boleh saja melewati jalan tersebut selama saya tidak mengakibatkan kecelakaan dan selama tidak ada yang merasa dirugikan”. Ditambah lagi jika kita memiliki motivasi dan alasan yang kuat, yang kadang secara tidak sadar kita sering menggunakan alasan-alasan tersebut sebagai pelegitimasian kesalahan kita. Misalnya kita menerobos lampu merah atau mengebut melebihi kecepatan maksimal karena diburu waktu, berkenaan dengan masalah yang prinsipil, masalah cinta, menyangkut nyawa orang, dan sebagainya. Kekuatan pikiran bawah sadar yang merupakan sugesti memang sering menjadi energi dahsyat yang juga sekaligus menjadi pilot di dalam diri kita ( Agustian, 2005 : 82). Maka dari itu, untuk menanggulangi dan mengantisipasi ukuran dan analisa-analisa kita yang subjektif tersebut diciptakanlah perundang-undangan lalu lintas dengan mesin monitoringnya atau penegak hukumnya yaitu, polisi. Bukan bermaksud berapologi dan mencari kambing hitam tapi memang kenyataannya, para polisi lalu lintas gagal melaksanakan tanggung jawabnya dengan sering menyelewengkan kekuasaannya dan mencari-cari kesalahan para pengendara motor.
Lantas apakah inti dari pembahasan ini? Atau lebih tepatnya apa yang perlu dipermasalahkan? Permasalahannya adalah bahwa sebenarnya kita tidak banyak mengetahui bahwa kebiasaan-kebiasaan buruk yang sering kita lakukan dalam berlalu lintas banyak menimbulkan dampak negatif. Banyak pengendara motor tertabrak karena nekat mengejar lampu kuning ketika mereka terlambat menyadari bahwa lampu lalu lintas sudah berubah merah dan dari jalur kiri atau kanannya kendaraan-kendaraan sudah mulai melaju karena sudah mendapat giliran lampu hijau. Banyak pengendara motor jatuh terpeleset/ bannya selip karena saat lampu berwarna kuning mereka menggeber gas mereka dan menambah kecepatan, tetapi ketika tepat di bawah lampu lalu lintas mereka menyadari kalau mereka telah terlambat dan kalau mereka nekat menerjang lampu yang sudah merah mereka akan ditilang, maka mereka mengerem motor secara tiba-tiba dan terpeleset. Banyak pengendara mobil ataupun motor yang ketika tengah malam sehabis dugem dan sebagainya merasa bahwa jalanan sudah sepi dan tak ada polisi sehingga mereka merasa aman untuk melanggar lampu merah. Mereka tidak menyadari bahwa kendaraan-kendaraan lain pada persimpangan yang sama namun dari arah yang berbeda mempunyai pikiran yang serupa sehingga terjadilah tabrakan. Saya juga mempunyai pengalaman di Semarang saat masih SMA, pada pukul 05.30 pagi saat para polisi masih sarapan di rumahnya, saat dalam perjalanan ke sekolah saya melihat seorang siswi SMA yang diboncengkan oleh pacarnya kepalanya hancur terlindas ban truk karena tidak memakai helm. Jelas sekali dari ilustrasi-ilustrasi dan fakta-fakta yang sudah saya paparkan kita memerlukan suatu perubahan. Perubahan struktur. Perubahan kebiasaan. Perubahan sistem lalu lintas di Indonesia yang semakin hari semakin aneh. Tidak perlu mencari kambing hitam, tidak perlu menyalahkan polisi, dan tidak perlu menyalahkan siapapun. Dan satu hal, tidak perlu takut untuk berubah. Memang mungkin nantinya kita sebagai individu akan dianggap patologis dan dicap aneh karena menyimpang dari komunikasi dan interaksi dalam konteks masyarakatnya (Hardiman, 2003 : 224), tapi tak apa-apa. Mulailah dari diri sendiri mulai saat ini. Perubahan dimulai dari lingkup yang terkecil. Buktikan kalau kita mampu memiliki kebiasaan yang berbeda. Buktikan kalau kita bukan bunglon, yang hanya bisa bermimikri dan berkonformitas menyerupai masyarakat sekitarnya hanya karena takut dikucilkan ( Boeree, 2006 : 209).
Sebagai penutup, jika kebetulan besok teman-teman saya boncengkan dengan motor. Tolong ingatkan saya jika saat lampu kuning di traffic light jarum speedometer saya tidak ke kiri tetapi malah ke kanan. Pada saat itu pukul saja kepala saya!


Daftar Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar. 2005. ESQ : Emotional Spiritual Quotient. Jakarta : Penerbit Arga
Boeree, C. George. 2006. Personality Theories : Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Yogyakarta : Prismasophie
Fromm, Erich. 1988. Memiliki dan Menjadi : Tentang Dua Modus Eksistensi. Jakarta : LP3ES
Hardiman, Fransisco Budi. 2003. Kritik Ideologi : Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta : Bukubaik
Priyono, Herry. 2002. Anthony Giddens : Suatu Pengantar. Jakarta : KPG

1 komentar:

  1. Best Casinos in Denver - Mapyro
    Discover the best casinos in Denver. Our map shows casinos with the 이천 출장안마 best 광주 출장마사지 odds, bonuses and live 거제 출장샵 entertainment. Search for 경주 출장안마 casinos near Denver What are the best casinos 삼척 출장안마 near Denver?Are there casinos near Denver?

    BalasHapus